Selasa, 17 Mei 2011

Kehidupan Di Kolong Meja

Pagi ini hujan cukup deras. Sudah pukul tujuh, namun suasana kelas 6 B masih sangat sepi. Hanya sekitar empat belas dari 38 siswa yang sudah datang. Bahkan tidak mencapai separuhnya. Pak Husin, guru Matematika, pun belum menampakkan sosoknya di kelas pagi ini.

Suasana kelas begitu ramai. Ya, tanpa kehadiran seorang guru akan sangat mudah membuat suasana sebuah kelas seriuh pasar rakyat, atau bahkan pasar bebek seperti yang biasa dikeluhkan para pengajar.

Namanya Dana. Yang duduk di bagian pojok kanan paling belakang dekat jendela. Tubuhnya yang kurus nyaris membuatnya tak begitu nampak, tenggelam di balik meja tulisnya. Seragamnya sendiri kedodoran. Ibu sengaja meminta penjahitnya melebihkan ukuran di sana-sini agar seragam Dana tetap muat hingga lulus SD nanti.

Dana adalah murid yang selalu terlihat lebih sibuk di antara kawan-kawan sekelasnya. Tak ada tugas yang sangat sulit hingga harus buru-buru dikerjakan sebelum guru memasuki kelas pagi ini. Pak Husin pun bukan tipikal Guru yang gemar memberi hukuman hanya karena alasan seklise “Lupa, Pak”, dilontarkan dari mulut-mulut mungil para siswanya yang terlihat gugup karena belum mengerjakan tugas yang diberikan Pak Guru tersebut. Tapi, Dana—yang selalu duduk sendiri—seperti sedang sangat serius memainkan pensil 2B-nya di atas buku tulis. Dia tetap bisa berkonsentrasi dengan tulisannya. Entah apa yang ditulisnya. Dana selalu menekan pensilnya terlalu dalam saat menulis hingga sekeras apapun usahanya untuk menghapus tulisan yang salah akan sia-sia karena gurat-gurat pensil tetap membekas.

Selesai. Setengah halaman selesai dibuatnya. Dirobeknya kertas berisi tulisan itu dari buku tugas matematikanya, lalu dilipatnya rapi dan dimasukkan ke dalam sebuah amplop kecil. Entah sengaja disembunyikan atau hanya untuk disimpan sementara, Dana memasukkannya ke dalam kolong meja tulis kayunya. Dan amplop itu, singgah di sana bersama amplop-amplop lainnya.

***

Masih pagi. Dana selalu datang lebih awal dari teman-teman sekelasnya. Begitu sampai dan menaruh tas hijau tuanya yang hampir bisa dikatakan tak layak pakai itu, Dana lalu merogoh-rogoh laci meja, menundukkan kepalanya supaya bisa lebih jelas melihat ke dalam isi bangkunya. Tidak ditemukannya lembar-lembar surat yang sebelumnya dia begitu yakin selalu ditumpuknya rapi menjadi satu.

Dana tertunduk lesu. “Itu surat untuk Pak Presiden”, gumamnya lemas. Dana begitu takut, bagaimana kalau suratnya dibaca orang lain ? Bagaimana kalau surat-suratnya ditertawakan ? Bagaimana kalau surat-surat itu dirobek sedemikian rupa lalu dibakar begitu saja ? Seribu satu pertanyaan berkecamuk di dalam dada Dana. Surat-surat itu layaknya harta karun. Berharga dan sangat rahasia.

Hari Dana menggelap. Satu sepucuk suratpun tak ditemukannya di dalam seisi kelas, bahkan di dalam keranjang-keranjang sampah. Dia tidak ingin ada yang mengambil surat-suratnya, lalu tahu betapa menyedihkannya kehidupan yang dia miliki.

***

Untuk Pak Presiden,

Pak, hari ini lagi-lagi saya melihat kemiskinan di rumah saya. Nenek sakit dan ibu menangis. Saya tidak tahu kenapa ibu harus menangis untuk penyakit nenek yang seharusnya bisa disembuhkan oleh dokter. Tapi kemudian saya melihat ibu membuka dompetnya yang berisi tabungan beliau selama beberapa tahun ini. Sangat tipis. Semakin tipis. Dan saya langsung tahu, Ibu menangis karena tidak bisa membiayai perawatan nenek. Miskin sekali kan kita, Pak ? Bahkan kalau buku-buku tulis saya dari kelas 1 SD bisa laku dijual, saya ingin sekali menukarnya dengan uang yang banyak. Pendidikan kan mahal, Pak. Buku tulis saya dari kelas 1 SD yang penuh dengan ilmu pasti mahal juga kan kalau dijual ? Supaya nenek bisa sembuh dan Ibu berhenti menangis…

Untuk Pak Presiden,

Pak, kemarin saya bolos lagi. Ibu memasak gorengan sangat banyak untuk dijual supaya hasilnya bisa digunakan untuk menambal hutang, katanya. Jadi saya harus membantu Ibu berjualan keliling.

Padahal kemarin ada pelajaran Kesenian, satu-satunya pelajaran favorit saya karena pelajaran Kesenian benar-benar asyik dan menghibur. Satu-satunya hiburan yang saya dapatkan seminggu sekali di sekolah karena di rumah pun tak ada TV yang bisa membuat saya berimajinasi seperti di rumah teman-teman yang lain.

Tahun depan ada pembagian TV gratis tidak, Pak ? Kalau ada, saya mau.

Pak Presiden yang Terhormat,

Surat-surat saya untuk Bapak hilang. Mungkin dimakan rayap, tikus, atau mungkin dicuri orang. Padahal sudah saya tumpuk rapi di kolong meja saya. Memang tidak ada rencana untuk mengirimkannya kepada Bapak, tapi surat-surat itu kan berharga. Rumah saya sering terendam banjir, jadi tidak mungkin meninggalkan surat-surat untuk Bapak di rumah.

Ada berapa banyak orang sih, Pak yang membuang sampah sembarangan sampai rumah saya harus berkali-kali berenang ? Kalau kata Ibu, tidak ada orang yang membuang sampah sembarangan. Semua sampah sudah pada tempatnya. Hanya saja, kita dan puluhan keluarga lain yang belum bisa tinggal pada tempat yang seharusnya layak menjadi tempat tinggal. Di tempat penampungan sampah itulah, bersama belasan gunung-gunung sampah, kami tinggal. Menyempil dengan bau menyengat.

Kalau saya pernah minta TV sama Bapak, saya ralat. Saya minta rumah saja. Yang kecil, tapi cocok ditinggali. Ya, Pak, ya ? Yang tidak bisa kena banjir, Pak. Supaya surat-surat untuk Bapak juga bisa lebih awet saya simpan di rumah, daripada harus disimpan di bangku sekolah seperti ini.

Pak, Nenek meninggal kemarin Subuh.

Beliau sudah sangat lama sakit. Sakitnya membuat Nenek tidak bisa berkomunikasi dengan orang lain. Jadi, walaupun Nenek tinggal bersama kami, saya tidak pernah mengobrol dengan Nenek.

Tapi tadi malam saya mimpi ketemu Nenek. Saya dibawakan balon banyak sekali. Terus Nenek bilang, “Sekolah yang rajin”. Cuma itu, Pak. Tapi, Bapak tahu ? Saya bangun tidur dan merasa semakin semangat untuk sekolah. Apalagi sebentar lagi saya Ujian Nasional.

Semoga Ibu punya cukup uang untuk melanjutkan pendidikan saya ke SMP bahkan SMA. Atau mungkin Bapak mau menghutangi Ibu dulu ?

Bu Qonita meletakkan kaca matanya. Puluhan surat telah habis dibacanya, hari demi hari sejak Pak Giman—tukang bersih-bersih di sekolah—menyerahkan sebendel tumpukan kertas yang dilipat persegi panjang yang ditemukannya di dalam bangku salah satu kelas di SD Nusa Bangsa. Hendak membuang tumpukan kertas yang sebelumnya dikira sampah itu, Pak Giman memutuskan untuk membaca salah satunya, siapa tahu penting dan masih dibutuhkan.

Bu Qonita adalah Guru Bahasa Indonesia yang kebetulan lewat di depan kelas saat Pak Giman sedang keasyikan, larut membaca surat-surat berisikan tulisan tangan yang tidak begitu rapi tersebut. Kepada Bu Qonita lah Pak Giman mempercayakan tulisan-tulisan tersebut, berusaha meyakinkan wanita paruh baya itu bahwa ada sesuatu yang menggugah dari baris-baris kalimat yang tertulis di dalamnya : kemiskinan.

Ada sesuatu yang menyesakkan dada selesai Bu Qonita membacanya. Ada siswanya yang sedang berjuang dengan lingkungan dan kehidupan ekonomi yang perlahan mematikan. Dana, dikenalnya sebagai siswa yang walaupun introvert namun bisa diandalkan di dalam kelas. Tidak berprestasi di luar, tapi begitu dewasa dan dermawan membagikan ilmu yang dia pahami di kelas kepada teman-temannya yang masih bingung menerima penjelasan dari guru.

Dana harus ikut Ujian Nasional, pikir Bu Qonita. Kalau perlu saya ajukan beasiswa untuk Dana agar dia bisa melanjutkan pendidikannya.

***

Pagi merayap, mendung meratap mengais-ngais meminta matahari agar menyembul datang. Kelabu itu menggantung di pelupuk mata para siswa kelas 6, khususnya 6 B. Ujian Nasional sudah makin mendekat, Senin depan. Namun sungguh, mereka tidak benar-benar sedang mempedulikan hal itu saat ini.

Mereka baru saja memasuki kelas setelah Pak Kepala Sekolah mengumpulkan mereka semua di lapangan. Ini hari Kamis, seharusnya tidak ada upacara apapun hari ini, apalagi upacara bendera. Tapi baru saja seluruh siswa SD Nusa Bangsa merapatkan barisannya masing-masing kelas di lapangan sekolah sebagaimana yang berlangsung tiap upacara bendera hari Senin. Namun, tak ada mimbar, tak ada bendera yang terpancung gagah di ujung tiang.

Sang Kepala Sekolah berdiri, dengan wajah kuyu, lesu, di hadapan semuanya. Para Guru pun membentuk barisan, menundukkan kepala mereka dalam-dalam. Tidak ada suka cita pagi ini. Para siswa bertanya-tanya, berharap para guru sedang berpura-pura menyembunyikan kabar gembira bahwa Ujian Nasional harus diundurkan, atau bahkan batal diadakan sama sekali.

Bahwa Dana Adhi Caksono, siswa kelas 6 B itu, pukul satu dini hari menghembuskan nafasnya yang terakhir di dalam rumahnya, adalah berita duka yang dengan berat hati diutarakan oleh Pak Kepala Sekolah pagi ini. Dana sakit demam berdarah. Sudah dua minggu lebih bocah itu tak hadir di sekolah. Ibunya kehabisan uang untuk membiayai pengobatan nenek Dana. Bahkan untuk melunasi SPP Dana yang menunggak selama empat bulan terakhir ini pun ibunya terpaksa meminjam hutang kepada orang lain demi meluluskan syarat agar Dana bisa mengikuti Ujian Nasional yang sudah semakin dekat. Karena itulah ibunya merawat Dana sebisa mungkin tanpa bantuan obat-obatan yang seharusnya dibeli.

Semuanya saling dekap, saling merapatkan pelukan di tengah suasana haru dan tangis yang memecah. Betapapun mereka masih bertitel siswa-siswi SD, mereka tahu betul rasa sakit dan kesedihan yang meluap ketika harus kehilangan seorang teman sekolah. Dan Dana, sejujurnya telah menambah panjang deretan daftar ‘teman yang disayang’.

Suasana itu masih terbawa di kelas. Semuanya duduk rapi dalam bangku masing-masing. Ada yang menunduk, ada yang menumpukan kepalanya di atas meja, terisak sendirian. Ada yang masih bersandar di bahu teman satu sama lain, ada yang sembab, ada yang belum bisa menangis sama sekali saking tidak percayanya.

Bu Qonita, berdampingan dengan Bu Saadah—wali kelas 6 B—berdiri di muka kelas, menghadiri kedukaan yang masih mengganjal hebat di pelupuk matanya. Ada rasa penyesalan yang sangat hebat di dalam hati Bu Qonita atas keterlambatannya mengetahui keadaan Dana. Beasiswa melanjutkan pendidikan di SMP favorit untuknya baru saja diurus, masih proses dan pasti memakan waktu yang lumayan lama dengan berbagai seleksi, sedangkan Dana sudah harus begitu cepat kembali ke pangkuan Tuhan.

Berbagai sesal berkecamuk. Kematian Dana yang begitu cepat begitu disayangkan melihat sosok dan kepribadian Dana yang sungguh ulet menjalani pendidikan.

Air mata itu runtuh juga. Bahu Bu Qonita terguncang, isaknya mengeras. Diremasnya sepucuk surat Dana.

Pak Presiden,

Saya baru saja menangis. Ibu juga. Saya dipukul Ibu gara-gara minta uang untuk bayar SPP, empat bulan belum dibayar. Lalu setelah itu Ibu berteriak sambil memukul saya, “Cari uang itu susah, kamu enak tinggal minta !” begitu kata Ibu.

Saya takut, Pak. Asal Bapak tahu, ini pertama kalinya Ibu marah sampai memukul saya. Tapi bagaimana lagi, kalau SPP tidak dibayar, saya tidak bisa ikut Ujian Nasional tiga minggu lagi, Pak.

Tapi pukulan Ibu tadi tidak semenyakitkan apa yang dikatakannya setelah itu. Kata Ibu lagi, “Udah, nggak usah ikut Ujian Nasional, nggak apa-apa”. Saya langsung menangis. Ini sudah tahun keenam dan saya tidak mau berhenti begitu saja.

Pak, Allah, tolong saya. Kalau keinginan untuk bisa melanjutkan sekolah ke SMP terlalu tinggi, tidak usah dikabulkan. Saya ingin ikut Ujian Nasional. Saya ingin punya ijazah. Itu saja cukup.

Bunga plastik merah muda yang biasanya terpajang rapi di dalam sebuah vas bunga keramik warna biru dan diletakkan di atas meja guru, hari ini berpindah ke sebuah bangku kosong bagian pojok kanan paling belakang dekat jendela bersama dengan setumpuk surat kehidupan dari Dana untuk Pak Presiden yang diikat rapi dengan pita warna hitam. Di sanalah, pernah duduk seorang siswa yang menimba ilmu dengan kemiskinannya. Surat-surat itulah yang menjadi saksi bisu dari jutaan siswa yang terhimpit pendidikannya karena ketidakmampuan mereka memiliki uang.

***

4 komentar:

@adarmawans mengatakan...

huahahha. tulisan yg ini membuat saya tenggelam..

Putripus mengatakan...

lhoooooo bawa pelampung ? :p

@adarmawans mengatakan...

kan built ini, ngapung sendiri.. *jewer pupus*

Putripus mengatakan...

kemenyeeeeekk, pesen 1 po'o mas ben isok selamet nek kenek tsunami masio gak isok renang ;D

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com