Percaya nggak kalau perempuan itu makhluk paling absurd sedunia yang sedih dan galau tanpa sebab dan merugikan pemandangan orang-orang di sekitar karena manyun kebetan ?
Malam ini saya ngaca, dan saya percaya.
Saya adalah perempuan, makhluk paling absurd yang nggak bisa menyetabilkan perasaan.
Aku membawa sebilah pisau untuk kutusukkan padamu malam ini. Bukankah ini akan menjadi malam panjang kita, Sayang ? Di mana kita berdua berdansa dan bercumbu mesra untuk satu malam terakhir yang mempunyai ujung cerita yang mengesankan. Atau mungkin mengenaskan ?
Sudah. Sudah kuasah tajam mata pisaunya. Berkilatan kalau kau melihatnya di bawah cahaya terang. Namun pisau ini akan menggelapkan separuh sisa hidupmu, sisa malammu. Tenanglah, runcingnya tak akan menyakitimu. Karena tepat di degup jantungmu, akan kumatikan saklarnya dengan pisauku. Tidakkah aku sudah begitu baik padamu, Sayang ? Bahkan kematianmu pun akan aku permudah walaupun aku bukan Tuhan yang kau sembahi, kau sujud-syukuri.
Lalu ketika dadamu yang bersimbah darah menjadi hal yang begitu ingin kulihat malam ini, kusiapkan juga untukmu sekantong plastik besar untuk menyimpan jasadmu rapi. Tapi aku bingung, Sayang. Harus aku bawa ke mana tubuh kekarmu nantinya ? Sungguh masih ingin aku sandarkan jasadmu di pembaringanku, supaya kamu masih bisa kudekap tiap malam. Memastikan bahwa aku sudah benar-benar memilikimu. Tapi, aku bukan perempuan pengencan bangkai, Sayang. Ah, biar nanti aku pikirkan lagi masalah penempatanmu.
Aku memastikan segala sesuatu yang kukenakan sudah begitu rapi. Di cermin vertikal itu terpantul tubuh molekku. Bergaun merah selutut dengan rambut terurai. Tak ketinggalan mataku, mata yang paling kau kagumi dengan tatapanku yang memesona. Saking memesonanya, kau tidak akan bisa melihat serigala yang kusimpan di dalamnya. Kupersiapkan untuk menerkammu dengan buasnya.
Lalu pisaunya.
Tak hanya satu, tapi dua.
Karena ada yang harus kuhabisi lagi setelahmu, Sayang.
Lelaki yang kamu simpan dariku, yang berhasil menyita separuh perhatianmu dariku dengan gincu merah dan dada imitasinya.
“Jujur ya Put, malam Jumat buat Mama malam yang agak menyeramkan dan menakutkan karena malam di mana Allah mengambil Papa untuk kembali ke pangkuannya, hihihi”
17 Maret 2011, 07:32
Itu SMS dari Mama. SMS sebelumnya menanyakan apa aku jadi pulang hari Kamis atau nggak. Well, aku tau kok seberapa takut dan beratnya Mama menghadapi malam Jumat, Jumat malam, dan bahkan hari-hari lainnya sendirian di rumah sejak kepergian Papa (Jumat, 10 Juli 2009, 00:15). Makanya, aku harus pulang tepat waktu. Aku harus ngerelain weekend sama temen-temen di Surabaya, karena ini. Karena aku cuma nggak mau punya quality time bareng Mama yang kebuang sia-sia cuma buat seneng-seneng di Surabaya sama mereka sementara Mama sendirian di rumah. Dan that’s why I never care if my friends said, “Arek Gresik mulihan”. Bahkan sebelum Mama SMS kayak gini pun aku ngerasa wajib untuk harus ada di rumah tiap weekend karena kapan lagi sih bisa ngumpul sama Mama di balik kesibukan kuliah ?
SMS dari Mama ini akan lebih unyu kalau nggak ada embel-embel “hihihi” di belakangnya. Tapi, apapun yang kamu ketik dan kirim, Ma, aku suka.
Aku membelalakkan mataku untuk hal yang satu itu, perkataanmu yang sulit sekali dipahami. Aku masih memeluk boneka beruang cokelatku ketika aku berpikir, bukankah debu itu sangat kecil sekali sehingga nafasku yang tertatih pun mampu menerbangkannya dalam sekejap kalau aku ingin membuatnya jera karena membuatku bersin-bersin seperti knalpot bajaj ? Bagaimana bisa debu itu berampas ?
Lalu kamu menarik badanku berdiri dari kursi plastik kecilku, selangkah lebih maju sambil memegangi telapak tanganku. Kamu sapukan ujung jariku ke sepeda kayuh yang hampir tak pernah lagi kupakai. Ada segores abu-abu di sana.
“Ini debu” ujarmu.
Aku menganga lebar, entah menirukan gaya siapa. Kalau orang bilang, ini kaget. Seperti kaget ketika melihat hantu. Itu debu ? Apa benar ? Kenapa tak kalah pekat dengan warna-warni cat air dalam goresan kuas ?
“Bohong” tukasku. Ya, aku merasa dibohongi. Debu tampak begitu mandiri, kecil-kecil terbang ke sana kemari seperti yang kulihat ketika udara tersorot sinar matahari dari genting yang berlubang kecil. Debu itu menari begitu luwesnya, banyak sekali jumlahnya. Bukan yang begitu kasar dan tampak menjadi begitu besar seperti ini, senyata ini.
“Debu itu seperti manusia, seperti kamu. Sekarang kamu bisa bebas berlarian, bermain sampai badanmu bau matahari. Tapi akan ada saatnya nanti kamu akan tumbuh dewasa, capek bermain seharian. Kamu akan menemukan rumah baru tempatmu berdiam menikmati masa tuamu. Lalu kamu lupa bagaimana caranya untuk bisa bebas lagi di udara” paparmu sambil memeluk tubuh kecilku dari belakang, bahkan aku belum kunjung tinggi setinggi pinggulmu.
“Ayah…” kataku pelan sambil berusaha keluar dari pelukanmu. “Aku mau main”
Lalu aku berlalu pergi. Entahlah, terasa menyakitkan kalau harus tumbuh dewasa dan menjadi seperti debu. Aku ingin bermain sampai capek, aku ingin menelan banyak-banyak luka dan tangis gara-gara jatuh di aspal, aku ingin senyum-senyum sendiri sambil mendandani Barbie.
Ayah melihatku dari kejauhan. Tenanglah, Yah. Setua apapun aku nanti, aku akan tetap menjadi gadis kecilmu yang bahkan sedetikpun tidak akan kamu lihat ceriaku menua dan mengeriput. Aku akan tetap antusias menarik-narik tangan Ayah untuk bermain bersama.
Karena aku bukan debu. Ayah juga bukan debu. Dunia adalah untuk berlarian seperti anak-anak, untuk bersemangat.
*untuk Papa, yang tidak punya cukup waktu untuk menemaniku hingga punya anak-cucu. May you rest in peace, I do really love you…
Hari ini capek sekali. Tugas Psikologi belajar, adalah suatu kesalahan besar ketika mengacuhkannya begitu saja karena (mentang-mentang) jurnal didapatkan lebih cepat dan benar. Kita lupa kalau ada laporan yang harus dibabat. Dan di sinilah kita, berdua di dalam suatu tempat berlabel “keteteran” karena makalah dan file power point masih bersih sedangkan besok deadline pengumpulan tugas. Dan galau-galauan di twitter menjadi kurang menyenangkan karena cukup memalukan punya waktu begitu banyak tapi tugas keteteran.
Itu sumbernya, dan lain-lainnya adalah faktor-faktor pendukung betapa hari ini sangat berat pikiran.
Semoga—ya, semoga—minggu ini dan minggu depan cepat berakhir. HUGE AMIN.
Jadi seseorang yang easy come easy go itu menyenangkan. Kamu bisa ketuk kehidupan orang lain, masuk atas seijinnya. Tapi kamu bisa pulang kapanpun kamu mau, dan bertamu ke kehidupan yang lain. Untuk orang yang menyukaimu, dia akan senang ketika kamu hampiri. Tapi sekaligus dia akan khawatir, apakah kamu akan bertamu hingga larut malam, mengisi ruang tamunya yang sepi. Atau kamu akan cepat-cepat pergi, cepat-cepat keluar dari pagar rumahnya dan berpindah ke rumah yang lain, mencari teduhan, mencari sesuatu yang disebut ‘klik’.
Lalu ternyata kamu, mengetuk pintu rumahku. Datang dan bertamu, sudah agak lama hingga semua jengah pergi satu per satu. Kamu habiskan cangkir-cangkir obrolan yang aku suguhkan, kamu minta lagi dan lagi. Aku tuang, kamu teguk.
Cepatlah, aku ingin kamu segera pulang saja. Kembali ke rumahmu, atau pergi berkunjung ke hati-hati yang lain. Sebelum terlalu lama kamu ada di sini. Sebelum aku merasa berat kehilangan kamu, sebelum semua persepsi merujukku pada jatuh cinta dengan kehadiranmu.