Bumi itu berputar, berotasi pada sumbunya. Begitu berkali-kali kita diajarkan teori tentang bumi dan matahari di sekolah, bahkan sejak SD. Aku paham. Tapi itu dulu. Sekarang, begitu aku dihadapkan pada suatu masalah yang menyangkut kedewasaan pribadi yang bagiku sangat sulit untuk menanganinya, dan mereka berkata “Ingat, bumi itu berputar”, aku menjadi seperti anak TK yang asing dengan kalimat itu.
Aku yang sekarang, tak jauh beda dengan kecoa hitam yang diam di pojokan kamar. Menunggu pangeran tampan menciumnya, juga menunggu akhir cerita apakah aku si kecoa hina akan berubah menjadi Putri cantik dengan gaun mewah setelah dicium si Pangeran, atau justru mati sia-sia karena ternyata ciuman Sang Pangeran mengandung racun serangga. Atau kemungkinan yang lebih buruk, kecoa akan mati dalam usianya yang semakin lanjut dan tak berguna, dan menelan kenyataan bahwa tak ada seorang Pangeran pun sudi untuk datang dan mengecupnya. Tragis.
Jadi, ini sudah kulakukan sejak lima hari terakhir: terbaring di atas kasur yang keadaannya jauh dari kata rapi, tidak melakukan apa-apa, keluar hanya untuk mandi dan mengambil makan, dan kembali ke habitat awal. Bahkan aku benar-benar berdiam diri di pojokan, menjauhi cermin yang berdiri menantang. Pernah kemarin aku mencoba berkaca. Kudapati ada sosok perempuan yang hancur berantakan. Mata sembab dengan kantung hitam menggantung, muka lusuh, rambut acak-acakan, dan sangat tidak layak untuk dipandang siapapun. Aku mulai takut. Tidak akan lagi aku dekati cermin itu.
Oke, faktanya, bumi itu sedang berhenti berputar. Kalau tidak, bagaimana bisa aku masih berhenti di titik kehancuran seperti ini ? Tidak bisa move on, tidak bisa bergeser barang satu senti pun ke kehidupan yang lebih baik. Berantakan semuanya. Jadi, bumi memang sedang berhenti dan kehilangan gravitasi. Semua masalah yang sudah dipendam rapi-rapi dan nyaris aku lupakan kembali mencuat ke permukaan, terbang melayang-layang seperti nyamuk dengan gerakan slow motion.
Aku. Capek. Aku. Capek. Begitu aku katakan berkali-kali, pada lantai-lantai yang di atasnya membekas gambar-gambar berspidol hitam, gambar-gambar perempuan psikopat raksasa yang membawa pisau ke mana-mana. Itu aku. Mengarahkannya pada seorang lelaki tampan yang menggandeng seorang perempuan lain dalam gaun pengantin. Itu kamu, dan perempuan itu. Perempuan tai, aku bilang.
Aku meringkuk lagi, merangkul kedua lututku, lalu menangis lagi.
Akan seperti ini terus.
***
Aku cemas, dag-dig-dug tidak karuan setiap waktu. Sudah lima hari dia seperti itu. Ah, aku bingung. Tahapan mana yang aku lewatkan ketika mendidiknya, sehingga dia memiliki kelakuan dan pemikiran yang begitu membahayakan seperti itu. Terlebih lagi, gambar-gambar di lantai yang dia torehkan. Makin membengkak rasa takutku.
Berawal dari menjadi seorang penggemar biasa, dari tahun ke tahun anakku makin terobsesi dengan si artis lelaki itu. Posternya di mana-mana. Dinding kamarnya dipenuhi artikel-artikel yang memuat tiap berita dari tabloid hingga internet. Obsesinya membeludak. Mengejar-ngejar si artis, mencari info ke sana kemari untuk menghubunginya.
Mati-matian dia coba.
Mati-matian dia gagal.
Hingga minggu lalu, kabar pernikahan si artis mulai beredar di sana-sini. Anakku kalap, tidak terima. Masih begitu ingin dia mendapatkan lelaki itu.
Semoga—ya, semoga—dia tidak berpikiran sedangkal itu untuk berlanjut meneror si artis, atau bahkan mungkin meneror hidupnya sendiri dengan pisau ketidakmasukalan obsesi yang makin tumbuh dalam pikirannya.
Mati-matian, aku berdoa.
2 komentar:
pupuuuus, ajari esun nggawe cerpeeeennn :D
gak usah diajari pasti wes isooook kamu iku :D
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)