Hari ini, saya ta’ziyah ke rumah duka teman seangkatan saya. Izul namanya, ayahnya meninggal pukul tiga dini hari karena infeksi paru-paru. Saya nggak mau menyalahkan kedatangan saya di sana, kedatangan yang membuat saya ingat lagi momen-momen berat itu, kehilangan sosok yang serupa. Yah, lagi-lagi saya harus meratap.
Ceritanya sama persis, proses sakaratul maut-nya terutama. Semuanya sama, kecuali penyakitnya. Saya ingat betul ketika kami sekeluarga berkumpul di salah satu kamar inap di rumah sakit, mendapati keadaan Papa semakin memburuk setelah muntah darah pagi itu. Nggak percaya, walaupun yakin kejadian seperti itu pasti secepatnya akan dialami Papa. Tapi masalahnya adalah, baru sehari yang lalu Papa terlihat begitu semangat menjalani pengobatan setelah hari-hari sebelumnya down berhari-hari.
Lalu di sanalah, dari siang sampai malam, air mata seperti sungai, membanjir. Menuntun Papa mengucap lafadz “Allah” terus dan terus. Nafasnya terus tersengal, seperti kena asma. Sorenya, Papa sudah nggak bisa melihat dan mengenali kami, kecuali melalui suara kami. Bicarapun kesulitan, tapi saya tahu betul Papa terus mengucap nama Allah, tanpa henti.
Seperti sudah tahu akhirnya seperti apa, memang hanya masalah waktu. Keluarga meminta dokter menghentikan saluran infus dan transfusi darah. Kecuali saluran oksigen dan selang yang terhubung dari hidung ke lambung Papa untuk jalan darah yang harus dimuntahkan. Selang-selang yang menggantung, tersambung ke organ Papa seperti cuma menjadi hiasan, nggak berfungsi apa-apa. Sampah.
Orang-orang semakin memadati kamar Papa, mendoakan, menangisi. Saya yakin mereka sayang sama Papa karena Papa itu super baiknya. Superman.
Lalu benar, kami semakin tidak bisa melakukan apa-apa selain menunggu dan mendoakan supaya jalan Papa dilancarkan. Jumatnya, pukul 00.15 dini hari, saat kami semakin kalut karena nafas Papa makin tersengal, dokter masuk tepat saat Papa menghembuskan nafas terakhirnya dengan posisi tubuh Papa yang seperti sudah ‘otomatis’ tertata sedemikian rupa dengan tangan mendekap di depan dada.
Kami menangis. Lega. Akhirnya.
Memang sakit ketika kami menghadapi satu kenyataan bahwa kami harus kehilangan seorang yang kehebatannya tidak cukup dijelaskan dengan berbagai kata yang diambil dari kamus-kamus manapun seperti Papa. Tapi ketika kami tahu bahwa itu memang jalan terbaiknya dan melihatnya tersiksa lebih lama lagi akan semakin membuat segala sesuatu memburuk, pada akhirnya kami merelakan.
Lalu saya peluk jasad Papa sebelum beliau dimandikan, saya bisikkan “Aku sayang Papa”, sesenggukan.
Itu bodoh. Itu goblok. Bagaimana bisa Papa menghabiskan waktu-waktunya untuk selalu memberi tahu kepada saya “Papa ini sayang sama kamu, Put”, sementara saya baru berani membalas ucapan Papa di saat Papa sudah nggak bisa menyaksikan gerak bibir dan getarannya ketika saya mengucapkannya.
Itu goblok sekali.
Tapi, pada akhirnya, kehilangan itu masuk ke dalam mesin waktu. Saat kamu berjalan maju, kamu akan semakin jauh dari rasa kehilangan. Walaupun, tidak semudah itu.
Jadi, Izul, memang nggak ada kata yang lebih tepat selain “sabar”. Semangat.
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)