source : Google
Aku selalu suka seperti ini, menikmati sore hari denganmu duduk di sisiku. Bangku kayu panjang ini selalu menjadi tempat yang romantis untuk kita. Ada satu bangku kosong lagi di depan, namun tak perlu ditempati siapapun. Bukan aku, bukan kamu. Cukup di sini saja, kita duduk bersebelahan. Agar aku bisa melihat apa yang kamu lihat.
Kau bisa memeluk lenganku, tak perlu mesra, peluk saja. Pastikan aku masih ada untuk bisa menjadi pendamping di soremu. Sore ini seperti kita. Menua. Mengeriput dengan gurat-gurat jingga senja yang akan tertelan gelap.
Lalu kutanya padamu, “Akan berapa lama lagi kita seperti ini ?”
Kaubelai lenganku dengan lembut, pelan, gerakanmu makin tertatih termakan usia. “Sampai aku seratus tahun”.
Aku tertawa, tak terlalu keras karena aku tak mau kotak suaraku yang makin menyusut malah terlempar keluar. Kubilang, “Apa tidak terlalu lama ? Aku sudah terlalu lelah saat usiamu seratus tahun. Aku takut hanya bisa menikmati sore seperti ini dari balik jendela kamar, pasrah terbaring di atas ranjang reyot, aku tidak mau setua itu. Aku tidak mau menemanimu menghabiskan sore dengan cara seperti itu”
Kau sedikit kecewa dengan tawaranku, aku tahu. Lalu kausandarkan kepalamu di bahuku. “Kalau begitu, sampai aku delapan puluh tahun saja”
Jariku menghitung-hitung, mencari angka yang pas dengan usiamu saat ini. “Itu artinya tujuh tahun lagi ? Baiklah, tidak terlalu buruk, aku masih sanggup selama itu”
Kita tersenyum, selalu seperti ini di sore-sore kita. Kata ‘selamanya’ itu tidak ada, Sayang. Tidak pernah ada garansi untuk itu. Aku tidak mau terlalu lelah. Hidup sudah terlalu berat untuk raga kita yang meringkih.
Jika Tuhan mengabulkan, Ia akan membiarkan aku tetap di sini. Menungguimu menunggu sore hingga dihabisi malam. Kau peluk aku, tak pernah terlalu mesra, peluk saja. Hingga tujuh tahun sore lagi akan seperti ini. Semoga masih bisa.
2 komentar:
romantis banget pus.
asiiiik :D
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)