Ini celana dari Bapak, lungsuran. Uang kami selalu terlampau sedikit untuk sekedar membeli pakaian baru, sehingga terpaksa menjadikan sepotong celana setara dengan sebuah tradisi, turun temurun. Entah celana Bapak yang semakin kedodoran, atau memang perutku yang mengerut setiap harinya. Setiap bangun pagi, rasa-rasanya aku selalu melakukan kegiatan ini : menarik tali kolor celana Bapak yang kupakai ini, lalu mengikatnya agar terasa rekat dan pas di dengan perutku. Ya, kulakukan setiap hari, saking semakin tak sinkronnya ukuran perutku dengan ukuran celana Bapak.
Aku mengelus perutku. Ini hari kedua aku belum makan. Perut cuma kuisi dengan beberapa bungkus es sirup yang kubeli murah dari penjual bakso kanji keliling. Seribu rupiah per bungkus es kudapatkan dengan potongan separuh harga. Hebat, kan ? Wajah dan penampilanku terlalu mendukung untuk mendapatkan belas kasihan orang lain.
Bapak sakit, sudah beberapa hari ini tidak bisa menemaniku mencari uang. Bapak hanya bisa menggulungkan badannya, terkapar dengan sarung yang menyelimuti badan kurusnya. Sementara aku, terpaksa turun ke jalan sendirian. Menengadahkan tangan dari satu pengguna jalan ke yang lainnya. Ini demi memenuhi keinginan Bapak yang sudah lama ingin makan nasi Padang di tikungan jalan itu. Sebungkus nasi dengan sepotong daging rendang harganya sembilan ribu rupiah. Tidak mungkin hanya membeli satu bungkus. Aku, Ibu, dan adik perempuanku juga mau. Jadi, perlu uang tiga puluh enam ribu rupiah untuk bisa menikmatinya.
Aku melirik kantungku yang penuh recehan. Masih terkumpul 24.850 rupiah. Betapa susahnya. Harus berapa hari lagi menahan keinginan untuk makan nasi Padang ?
Deretan tiga lampu lalu lintas berhenti pada lampu merah. Pelan-pelan, para pengendara memberhentikan kendaraannya. Menghela sedikit udara sambil menengok sana-sini, ada juga yang serius memperhatikan detik-detik penghitungan mundur waktu lempu merah tergantikan oleh kuning, lalu hijau. Mungkin terbuu-buru.
Kulangkahkan kakiku turun dari marka jalan tempatku berdiri menunggu lampu merah dari tadi. Dari kaca ke kaca, kumampirkan wajah memelasku, meminta belas kasih untuk sebentuk receh. Tak banyak yang memberi, seperti perkiraanku. Seperti biasanya.
Sepuluh detik lagi, uang di tanganku masih tak banyak.
Lalu seorang Ibu, bertubuh subur pengendara sepeda motor, meraih tanganku dengan tangan kirinya, lalu memasang selembar uang dan menggenggamkannya erat ke dalam tanganku. Seratus ribu. Selembar uang kertas seratus ribu. Yang merah, yang masih halus, yang masih harum uang.
“Bu, nggak ada kembaliannya…” aku merintih pelan. Sungguh, kalau dia hanya bermaksud memberiku lima ratus rupiah dengan selembar seratus ribu itu aku tak punya kembalian. Bahkan kalau Ibu itu terlalu baik sehingga memberiku lima puluh ribu pun aku tak punya sebanyak lima puluh ribu rupiah untuk kukembalikan.
Ibu itu tersenyum.
3.. 2.. 1..
Lalu berlalu seiring lempu merah yang berhenti menampakkan dirinya.
Aku masih berdiri. Ini hutang atau memang rejeki ?
3 komentar:
Hiks... TT__TT Saya gak kuat dengan kisah begini... TT__TT
bagus puss :D
@asop : cup cup :)
@laras : makasih ras :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)