Senin, 05 September 2011

Restu

source : deviantArt


Aku sematkan sebentuk korsase renda-renda putih berbentuk bunga di atas tudung kepala putihmu sehingga penampilanmu terlihat makin sempurna hari ini. Kamu berlama-lama di depan cermin, memutar tubuhmu ke kanan lalu ke kiri, mencari cacat yang tidak juga kau temukan sedari tadi pada penampilanmu. Kamu anggun dan sempurna, seperti yang selalu aku katakan sejak kau selesai berdandan dua jam yang lalu. Ah, tidak juga. Kamu selalu sempurna dari dulu, tidak pernah tidak.
“Seharusnya Ratri nikahnya sama Abang, Bu !” masih kuingat jelas bentakan pertamamu untukku, lima bulan yang lalu ketika aku memaksamu menikah dengan Dewa, lelaki mapan yang dipersiapkan orang tuanya untuk dijodohkan denganmu. Kesempurnaannya begitu dijaga agar bisa mengimbangimu yang serba memiliki segalanya : cantik, cerdas, kaya, dan begitu ramah kepada semuanya.
Kamu menangis sendu, tersedu-sedu. Linggar yang kau panggil-panggil sebagai Abang itu belum juga kutemukan titik pantasnya untuk berdiri di sampingmu sebagai mempelai pria. Dia hanya lelaki menyenangkan. Itu saja. Tak ada lebihnya sama sekali dibandingkan dengan Dewa. Kamu tak akan pernah cukup bila dihidupi dengan hal-hal menyenangkan. Kamu butuh lebih dari itu. Tapi kamu tak pernah percaya dengan pilihanku. Berontak, seperti pendemo yang menentang keputusan pemerintah.
Setelah dua bulan lamanya membujukmu, akhirnya kamu luluh. Kamu relakan Linggar untuk lepas dari genggamanmu. Kamu buat segalanya terasa lebih mudah dan ringan. Kamu tak lagi menuntut banyak atas pernikahanmu yang kami persiapkan seistimewa mungkin. Kamu cukup meng-’iya’-kan detailnya sambil tersenyum, memasrahkan semuanya pada kami.
“Bu, minta restunya, biar lancar” ucapmu, membuyarkan lamunanku. Kau kecup tangan keriputku, memohon restu yang kamu tahu sudah begitu lama kuberikan untukmu dan Dewa, calon suamimu. Kuusap rambutmu pelan, sebelum akhirnya kamu melangkahkan kaki keluar, menyambut masa depanmu sebagai seorang istri.

***


Bu, entah harus berapa kata lagi yang aku lontarkan untuk mempertegas betapa sayang dan cintanya aku sama Abang. Ibu belum pernah benar-benar menyimak permohonanku untuk menikahkan aku dengan Abang. Ibu sudah cukup lama mengenal Abang, Ibu tahu lebih banyak tentang Abang, dan aku yakin Ibu pun berpendapat bahwa Abang masih jauh lebih baik ketimbang Dewa. Hanya karena Abang adalah anak tiri Ibu dari pernikahan ayah yang sebelumnya, Ibu menentang kami.
Bersama surat ini, Ratri ingin Ibu tahu bahwa Ratri tidak tahu harus bagaimana lagi menghadapi paksaan dari Ibu. Mungkin Ibu benar-benar ingin Ratri menikah dengan Dewa, bertitel sebagai istri Dewa. Ratri tidak akan menolak. Namun keinginan Ratri untuk menikah dengan Abang masih begitu besar.
Ratri penuhi permintaan Ibu. Kalau akad nikah sudah sah menjadikan Ratri sebagai istri Dewa, batalkan resepsinya, Bu. Setelah akad nikah, Ratri segera pergi bersama Abang yang masih setia menunggu Ratri. Tidak perlu mencari kami. Lepaskan Ratri, Bu. Lepaskan Ratri.


Kepalaku terasa berputar, hatiku terpalu ribuan kali. Kugenggam erat-erat surat dari Ratri, anakku, yang tergeletak di atas meja rias. Di luar sana, ada Dewa yang menunggu setengah jam lagi hingga resepsi pernikahannya dimulai. Resepsi tanpa mempelai wanita.
Tubuhku terjatuh, berserak di lantai bersama kebaya cokelat klasik dan sepasang sepatu pengantin untuk seharusnya dikenakan saat resepsi yang ditinggalkan Ratri. Lalu semuanya menjadi buram dan menggelap. Restuku tak akan pernah sampai untuknya.

2 komentar:

Merliza mengatakan...

ko' mendadak pusing saya bacanya ya :(

Putripus mengatakan...

kenapa ? :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com