Someday, I Will Be

Pengen agak bawel tentang hari ini. Setelah menjalani perkuliahan hari pertama di semester tiga yang agak longgar, pulang kuliah tadi mampir makan ke Hotel Plaza Surabaya. Ada menu terkenal di sana, nasi goreng jancuk. Haha, bukan misuh itu. Jadi, emang nasi gorengnya itu pedesnya amit-amit. Dulu waktu masih di kaki lima, belum ada namanya nasi goreng apa. Tapi rata-rata pengunjung yang makan di sana sampai misuh-misuh saking pedesnya. Akhirnya sampailah pada nama nasi goreng jancuk.

Berhubung hidung saya tercipta untuk nggak bisa menikmati makanan pedes karena akan sangat gampang ingusan, akhirnya sama sama Karil yang senasib beli nasi goreng yang nggak jancuk, yang nggak pakai cabe sama-sekali. Porsinya lebih kecil juga. Sementara yang lain, Kamel, Dhimas, Risma, Devi, Tiwi, Mas Lukman, Muy pesen yang jancuk. Seporsi emang banyak banget sih isinya. Tapi tadi mereka standar banget menyikapi nasi goreng jancuk. Soalnya mereka pada doyan pedes. Jadi sensasi makan bareng nasi goreng jancuk itu akan lebih mantab kalau rombongan yang kamu ajak pada nggak suka pedes. Lebih terasa gimana suasana hot dan jancuknya, haha.

source : google

Berhubung ada tiga orang yang baru jadian, maka obrolan tentang kejombloan kami—sisanya—makin memanas. Makin menjadi. Makin menyangkutpautkan umur. Dan makin nggak sehat lagi. Dibahas juga nggak enak. Pokoknya gitulah. Pihak yang udah berpasangan, menindas pihak jomblo. Makasih. Besok pasti diulangi lagi, lagi, dan lagi.

Setelah nongkrong yang cukup lama, mereka capcus masing-masing. Saya, Kamel, Muy, Karil memilih lanjut ke Delta Surabaya. Tujuan utamanya Gramedia. Kamel nyari alat tulis, dan saya sebenernya nyari novel terbarunya Dewi Lestari yang judulnya Madre. Tapi habis. Sedih.

Di Gramedia itu senang ya, banyak buku. Saya sendiri jujur sebenarnya tipe orang yang perhitungan untuk mengeluarkan uang untuk beli buku. Saya nggak suka baca buku. Jadi kalau ke Gramedia paling cuma liat cover-nya aja sama baca sinopsisnya. Udah. Untuk masalah buku, saya lebih tertarik pinjam teman.

Tapi jujur, berada di toko buku itu selalu membangkitkan antusiasme cita-cita yang saya simpan rapi sejak saya masih SD. Jadi penulis. Klise sih, tapi jujur saya jarang mengekspose cita-cita saya yang ini. Saya takut dibilang kalau cita-cita saya ini musiman. Bilang kayak gini karena lagi rajin ngeblog, atau apalah. Tapi asli, saya pengen jadi penulis itu udah saya dari SD sekitar kelas dua-kelas tiga.

Ceritanya, saya punya teman main, namanya Dina, setahun lebih tua dari saya. Dia hobi nulis juga. Berhubung saya waktu kecil suka baca, Dina jadi sering nunjukin cerpen yang dia buat untuk saya baca. Asyik. Dari situ saya berpikir kalau bikin cerita sendiri itu lebih ada kepuasan. Lewat cara ini, imajinasi saya lebih tersalurkan. Jadi, saya mulai memperkaya kosa kata, belajar menulis cerita-cerita pendek. Alhamdulillah, dari tugas-tugas menulis di pelajaran Bahasa Indonesia, guru SD saya yang namanya Bu Rini selalu dukung saya. Beliau benar-benar yakin dan mendoakan saya kalau suatu hari nanti saya pasti bisa jadi penulis

Tapi ya gitu, beraninya cuma disimpen sendiri. Tiap kali ditanya cita-citanya apa, saya selalu jawab yang penting sukses. Haha, sampai sekarang pun saya belum yakin kalau cita-cita untuk jadi penulis itu bisa saya realisasikan. Masih terlalu jauh.

source : deviantArt

Dan di toko buku, saya selalu membayangkan tulisan saya dibukukan. Setunpuk berada pada suatu rak dengan cover dan judul yang menarik dan harga terjangkau supaya banyak yang membeli. Lalu ada nama saya tertulis di sana. Pasti bangga luar biasa.

Someday, I will be.