Sabtu, 17 September 2011

Rute


source : google

“Ini rutenya”
Tanganku mulai sibuk memainkan pensil 2B, menggoreskan warna hitamnya ke atas selembar kertas kosong yang tak lagi kosong. Kutarik garis ke sana, kemari, menggambar lingkaran, persegi, dan beberapa tulisan kububuhkan di atasnya. Kujadikan makin ruwet dengan beberapa anak panah yang mengisyaratkan arah.
“Kamu udah masuk ke hari-hariku lewat sini,” aku mulai menjelaskan bentuk demi bentuk yang aku wujudkan ke dalam kertas ini. “Kamu bawa aku jatuh cinta lebih dalam lagi tiap harinya dengan kehidupan yang kamu punya. Tapi aku nggak bisa mengimbangi langkahmu yang jalannya terlalu cepat. Aku ketinggalan jauh waktu kamu entah lewat jalan yang mana. Akhirnya aku berhenti”, ujarku, menambahkan tanda silang pada sebuah pangkal percabangan garis yang aku buat.
“Kamu berjalan terus sampai mungkin kamu nggak sadar bahwa aku udah nggak ada lagi di hari-harimu. Dan di rute perjalananmu yang baru, kamu bertemu dia dan kamu gandeng dia. Kayak selir yang nemenin kamu ke mana-mana. Sementara aku, di titik ini aku masih berhenti, bertahan nunggu kamu karena nggak ada yang mengiringi aku untuk jalan lagi” sambungku. Aku menatapnya lekat-lekat. Dia menaruh tatapannya pada kertas gambarku rekat-rekat sambil sesekali menaikkan kacamatanya. Berusaha memahaminya.
“Cukup lama, sampai akhirnya kamu jalan sendiri lagi. Dan kamu milih untuk berbalik arah, nyari aku untuk bisa mengiringi langkah kamu lagi. Tapi apa kamu yakin kalau aku masih ada di spot ini ? Diam sendirian nungguin kamu ?” tanyaku hati-hati, memancingnya agar bisa berpikir lebih keras lagi tentang permintaannya untuk bisa memasukkanku ke dalam kisah hidupnya lagi beberapa menit yang lalu.
“Kenapa nggak ?”
“Kenapa yakin ?”
“Buktinya, kamu sekarang di sini, sama aku”
“Karena kita memang lagi ada di pangkal jalan yang sama. Tapi coba kamu lihat gambar ini. Melangkah satu senti aja kita udah ketemu jalan bercabang. Aku dan kamu ada di sini sekarang, karena aku minta waktu untuk menegaskan kalau kita punya jalan masing-masing. Percabangan ini nggak akan pernah ketemu lagi. Arah hidup kita nggak sejalan”
“Jadi, kita nggak bisa kayak dulu lagi ?”
Aku menggeleng yakin. “Jangan harap”

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com