Kepada para senyuman di wajah penuh luka.
Surat ini, anggaplah bisikan dari anak kecil yang mencoba menebak bahwa senyummu sedang berdiri di ujung parau tangis. Surat ini, anggaplah dari aku, anak kecil sok tahu yang hanya kebetulan sering menemuimu.
Sungguhkah, ketika kau terbentuk dari dua ujung bibir yang tertarik, adalah sebuah pertanda bahwa pemilikmu sedang bahagia ? Lalu pembenaran apa yang perlu kudengar ketika dengan jelas aku bisa melihat mata nanar di waktu yang sama dengan ketika kau tersungging ? Parah. Bukti bahwa hati dan otak pemilikmu tak sinkron lagi.
Maksudku, kenapa senyuman-senyuman indah seperti kalian harus terbentuk untuk menutupi bangkai yang dipendam, terus dipendam, sambil meneriaki kalimat munafik bahwa semua akan baik-baik saja ? Ada cacat, ada rusak yang dialami pemilikmu, yang tak seharusnya kemudian menghadirkanmu dalam wajah-wajah mereka yang sedang bersusah payah menimbun rasa penuh luka.
Aku diam menghitung, ada berapa banyak senyum palsu yang kulihat hari ini. Ah, tak banyak, karena aku belum keluar rumah hari ini. Hanya satu. Hanya senyumku. Senyum penuh luka, konsekuensi tragis dari ketidakmampuanku mengingat bagaimana caranya menangisi duka.
Atau mungkin surat cinta ini lebih tepat ditujukan pada rasa cintaku mempura-purakan diri ?
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)