Bukankah
segala jenis pecundang—pada akhirnya—akan kalah di medan perang?
Map
biru tua masih ada di tangan kanan, masih lengkap isinya, tapi makin kusut tiap
jamnya. Makin cocok dikatakan sebagai tisu untuk telapak tanganku yang mudah berkeringat.
Dan makin tak berfungsi untuk menyimpan berkas-berkas melamar pekerjaan.
Aku
melonggarkan ikat pinggangku yang mencekat perut buncit sedari pagi. Tak ada
alasan untuk berhenti, sebetulnya, kalau aku mau mengesampingkan alasan lapar,
lelah, dan putus asa. Hari semakin siang dan teriknya makin mengganas. Jalan
yang harus ditempuh masih panjang. Baru empat dari sembilan perusahaan yang
harus kusambangi untuk menitip nasib. Belum setengahnya, aku sudah di ambang
menyerah.
Kipas-kipas
sejenak, member kesempatan bulir-bulir keringat untuk terjun bebas.
“Jangan
berhenti di tengah jalan,” pesan istriku tadi pagi, ketika aku hendak pergi
dengan pakaian rapi. Tentu bukan perkara mudah mengiyakan ucapnya. Mencari
pekerjaan, bisa jadi merupakan pekerjaan tersulit sebelum tercebur langsung ke
dunia kerja nyata. Aku bisa berkata demikian, sebab ini bukan kali pertama aku
bergabung di masa pencarian.
Tak
kugunakan masa-masa santai di rumah demi menghamburkan uang dari satu metromini
ke metromini selanjutnya, naik bajaj atau angkutan umum, dari satu tempat ke
tempat lainnya. Rupiah-rupiah yang bisa kugunakan untuk membelikan makanan enak
untuk istriku, terbuang sia-sia untuk merantau mencari pekerjaan. Ah, tak
sia-sia sebenarnya, hanya saja belum ada rezeki lain yang menggantikan sehingga
pepatah besar pasak daripada tiang adalah
pepatah nomor satu yang sedang melingkupi perekonomian keluarga kecilku.
Masih
sepuluh menit aku duduk, entah ini bisa dikatakan buang-buang waktu atau justru
menjaga waktu dengan baik. Lelah belum kunjung reda. Bukan perjalannnya, tapi
beberapa kegagalan pada pencarian-pencarian sebelumnya. Juga caci dan maki
mertua yang dinyanyikan melalui sindiran-sindiran halus, dengan memberi kami
pakaian-pakaian bekas yang masih layak pakai, misalnya. Seolah kami tak sanggup
membeli yang baru meski murah, seolah aku tak sanggup membelikan yang baru
meski murah. Kalau sudah begitu, aku dan istriku tak bisa menolak, berkah
sekaligus aib ketidakmampuan kami.
Ada
hal-hal yang tak bisa kita hindari memang, dalam perjuangan untuk bertahan
melawan hidup. Terdengar berat, tapi—ya—kau harus punya sesuatu untuk memberi
makan keluargamu. Tak akan bisa kau membeli beras, pakaian, menyewa kontrakan,
mempersiapkan kelahiran anakmu, hanya dengan cinta. Cinta omong kosong. Ini
tahun 2013. Berapa juta penduduk sedang bergerak menjadi pesaingmu di kehidupan
nyata untuk berebut uang-uang yang hanya beberapa rupiah? Berapa juta?
Dan
aku masih duduk di sini. Bisa jadi, kesempatanku di perusahaan yang selanjutnya
hendak kudatangi, tengah diserobot orang dan rezekiku melayang. Aku mendengus.
Mungkin sebaiknya memang harus kutamatkan kuliahku dua tahun yang lalu, demi
ijazah untuk modal utama menghidupi keluarga baru yang keuangannya masih
gersang ini. Tak keburu malas dan menuruti nafsu untuk cepat-cepat menikah.
Bisa-bisa, usia pernikahanku pun akan dipercepat oleh mertuaku yang khawatir
anaknya tak akan hidup sejahtera bersamaku.
Jangan berhenti di tengah jalan.
Tentu
tidak. Aku hanya sedang menepi.
Karena
jalan masih sangat panjang. Dan aku bukan pecundang.