Surat ini, untuk kamu, yang pernah menjadi pemeran utama dalam buku harianku selama tiga tahun berturut-turut dari kelas 3 hingga kelas 6 SD.
Aku adalah monyet yang keburu jatuh cinta denganmu di pandangan pertama. Bodoh ya aku, tidak terlalu mempertimbangkan banyak hal pada saat itu untuk memutuskan bahwa aku cinta. Nyatanya, dia hadir begitu saja tanpa kita pernah berkenalan sekalipun.
Aku bingung harus mulai mana, bukan karena aku lupa detail awal bagaimana aku bisa jatuh cinta, hanya saja ketika mengingatnya, aku seperti menyaksikan film terbodoh yang tidak ingin aku rekomendasikan untuk siapapun sampai-sampai menceritakannya ulang pun enggan. Jadi, biar itu tetap rahasia.
Kamu SMP kelas 1 saat aku kelas 3 SD. Pukul 13.20 kamu selalu pulang sekolah melewati depan rumahku. Aku tunggu di balik jendela kamarku. Begitu kamu lewat, segala sesuatu seperti berhamburan, terbang melayang-layang lepas dari gravitasi. Melambat, melambat. Saat-saat seperti itu adalah adegan favoritku. Mataku tak lepas. Tak mau lepas. Sampai kupanjat jendela kamar, naik setinggi-tingginya tanpa melepaskan perhatianku yang tertuju pada kamu yang hanya lewat, sampai mataku tidak bisa lagi mengikutimu yang hilang karena terus berjalan. Kuulangi lagi besok, besoknya lagi, besok-besoknya lagi, seterusnya setiap hari. Lalu kutulis dalam diary.
Begitu juga ketika kita bertemu di lapangan. Aku dan dua temanku naik motor, goncengan bertiga. Dan tada! Kita bertemu. Kamu juga goncengan bertiga dengan dua temanmu. Kita sama-sama duduk di tengah. Sama-sama berbaju kuning saat itu. Dan aku merasa kesamaan kita saat itu adalah kebetulan yang ditakdirkan Tuhan. Bagaimana aku bisa lupa. Pulangnya, satu halaman buku harian kutulis dengan spidol warna kuning. Aku senang.
Ketika berangkat sekolah naik mobil jemputan. Aku duduk di bangku tengah, pojok kiri dekat jendela ketika kita bersisihan. Kamu berada tepat di sebelah kiri mobil jemputanku. Lagi-lagi waktu melambat ketika untuk pertama kalinya aku bisa melihatmu dari jarak yang begitu dekat. Kita hanya terpisah kaca jendela hitam. Senyumku tak bisa berhenti mengembang hari itu.
Juga pernah, di hari yang lain saat aku berangkat sekolah. Masih dari dalam mobil, aku melewatimu. Kamu berjalan sendirian, melakukan kegiatan sederhana yang mungkin kamu tak pernah sadar bahwa saat itu ada yang melihatmu melakukannya dan masih mengingatnya sampai sekarang. Itulah aku, melihatmu mengupil, lalu kamu mengumpulkan hasilnya di telapak tanganmu yang satunya seperti takut kehilangan tiap-tiap butir yang susah payah kamu korek dari hidung arabmu itu. Jorok. Tapi seharian itu aku terus mengulang-ulang cerita itu ke teman-teman dekatku. Aku senang.
Aku tidak pernah berada pada tingkat yang lebih dekat denganmu. Berkenalan saja tidak. Tapi itulah aku, yang selalu mendapatkan kesenangan dengan hanya mencintai diam-diam, menjadi pengagum rahasia tanpa merasa keberatan dengan tiga tahun yang lama tanpa kemajuan. Menikmati pertemuan-pertemuan kecil tanpa ada keinginan untuk tahu lebih banyak tentangmu. Seolah segala kebetulan saat itu lebih dari cukup. Sangat menyenangkan.
Kamu tahu ? Kadang saat-saat seperti itulah yang ingin aku ulang. Jatuh cinta tanpa sedikitpun rasa sakit. Jatuh cinta tanpa mempertimbangkan rasa takut apakah aku akan ditangkap atau jatuh begitu saja. Jatuh cinta dengan orang asing yang seterusnya akan tetap seperti itu. Jatuh cinta tanpa mengenal konsep take and give, karena konsep itu adalah yang paling membuat sakit ketika kita tidak bisa menyeimbangkan keduanya. Jatuh cinta tanpa perhitungan.
Jatuh cinta yang sederhana pada tiap kebetulan yang mempertemukan kita tanpa bosan-bosannya, ketika para waktu berjalan melambat.