Ialah jajaran besi-besi tua. Cadas tergerus energi panas dari gaya gesek yang tersedia untuknya tiap hari, tanpa henti. Menjadi lajur bagi jutaan manusia dari satu titik pemberangkatan ke titik lain tujuan masing-masing. Aku sering mempertanyakan hal ini sambil melamun memandangi pemandangan di luar kaca jendela yang terus bergerak secara konstan: "Kalau ribuan kilometer rel kereta api dari Sabang sampai Merauke tersambung menjadi satu dan dibentangkan lurus vertikal ke atas, bisakah mereka menjadi tangga-tangga untuk ditapak menuju angkasa?" Konyol. Deru-deru mesin kereta api yang tak kunjung berhenti seolah mengantarku pada sebuah kesimpulan bahwa apapun yang ada di bumi, biarlah membumi. Aku sedang berada dalam sebuah perjalanan di atas gerbong-gerbong penuh penumpang yang begitu panjang. Dan sesak. Dan bau ketiak orang di sana-sini adalah hal kedua yang tak siapapun sanggup hindari setelah pencopetan. Seolah belum pernah ada penemuan deodoran. Ibu sakit keras, aku disuruh pulang segera. Begitu kira-kira isi surat dari Paklek. Maka aku pulang, meninggalkan belasan pelangganku yang sedang menunggu nomor antrian untuk bisa berlama-lama menjajal tubuhku senti demi senti. Kenapa tidak? Kantungku sudah penuh, beberapa juta rupiah siap kualirkan untuk pengobatan Ibu sebelum kembali ke Ibukota dan menjajakan diri. Bunyinya tak kunjung henti, bergerak, melaju melewati portal-portal jalan raya utama. Naik kereta api terasa istimewa, memiliki jalur sendiri tanpa khawatir terhambat, apalagi terlambat. Perjalanan masih panjang, kantukku mulai menyerang. Semoga ada yang membangunkanku dengan sopan setibaku di Yogyakarta, jangan sampai aku terbangun karena tangan-tangan tak dikenal usil meraba pahaku. Ini paha mahal. Selamat tidur. |
Senin, 13 Agustus 2012
#17 Laju Lacur
Label:
#30Hari90Cerita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)