#21 Merdeka Omong Kosong

"Pak, jalannya pelan-pelan aja, ya! Saya mau ngerjain pe-er dulu, nih" Raya mengomando supir taksi biru itu, sambil mengeluarkan sebuah buku dan tempat pensilnya. Semalam, ah, malam-malam kemarin juga, Raya terlalu sibuk menonton setumpuk DVD yang disewanya. Terlalu malas gadis SMP itu menyentuh tugas-tugasnya. Termasuk yang satu ini. Raya menatap keluar jendela sambil menggigit-gigit ujung pena. Tak jelas apakah dia sedang berpikir atau malah melamun. "Merdeka adalah" baru itu yang ditulisnya. Sekalipun Raya tak suka dengan tugas menulis esai, tapi dia lebih tak suka lagi menulis sesuatu yang omong kosong. Sekolah masih jauh, Raya juga sengaja berangkat pagi-pagi agar bisa menyelesaikan tugasnya di dalam taksi selama perjalanan. Buntu. Otaknya benar-benar buntu. Berhenti pada sebuah perlimaan. Ada pengamen, ada pemulung. Mereka masih sama-sama kecil. Raya terinspirasi. "Merdeka adalah produksi sampah berkurang sehingga tak tercetak para generasi pemungut sampah. Kesempatan kerja yang lebih bersih banyak tersedia. Atau pendidikan dapat kembali dilanjutkan" tulisnya. Taksi biru bergerak lagi, melewati gedung-gedung perkantoran yang megah berdiri. Menyisakan sinar matahari yang lamat-lamat menyinari karena terhalang gedung. "Merdeka adalah sederhana dan bahagia dalam kejujuran. Tak terjajah keinginan untuk menyimpangkan dana diri sendiri maupun orang lain" Setiap hal yang ditemui Raya selama perjalanan ditulisnya dalam kalimat-kalimat penuh arti. Mengalir tanpa cacat. Sindiran-sindiran halus bak terigu yang telah diayak. Selesai. Kertasnya telah penuh. Gerbang sekolah sudah terlihat di depan sana. Taksi berhenti. Raya mengeluarkan selembar lima puluh ribu dan duduk menanti Pak Supir memberi kembalian. Sambil berbalik badan dan menyerahkan kembalian, Pak Supir berkata "Indonesia udah merdeka, masih kejajah rasa males aja, Neng ngerjain pe-er di rumah?" Raya menatap nanar esainya. Tumben tulisannya omong kosong.