Aku mengamini doa yang kulantunkan pada suatu petang di penghujung Sabtu. Namamu tercantum di sana, berkali-kali. Kutemukan anakmu meringkuk di jalan, menangisimu yang tergeletak bersimbah darah tertimpa gerobak sayurmu. Tabrak lari, sangkaku. Tak seorangpun datang membantu, tak seorangpun kecuali aku yang sedang terburu-buru. Aku seperti telah mati. Dan Tuhan, seperti apa yang dikata buku-buku Agama, sedang memutarkan kejadian semasa aku hidup. Ini adalah luka yang tertanam hingga nyaris kulupa. Terputar kembali bagaimana otakku berusaha melawan ketakutan luar biasa saat kusaksikan kedua orangtuaku tewas dalam kecelakaan mobil di mana aku menjadi satu-satunya yang selamat. Sungguh, Nyonya. Anakmu tak berhenti menjerit berlumur tangis pilu tiap meneriakkan "Ibu..." hingga detik ini. Nyonya, entahlah siapa kau, tidakkah kau sudah terlalu lama terdiam dalam ICU? Kau terlihat begitu tenang di balik cekokan berbagai infus dan alat rekam jantung yang tak henti mendeteksi keberadaan nyawamu. Kumpulkan sadarmu demi kami, Nyonya. Sesungguhnya kau belum layak meninggalkan bocah lelaki yang, kutahu dari air matanya, begitu mencintaimu itu. Dadaku sesak. Pula tangisku sesenggukan. "Utuhkan nyawa Ibunya, Tuhan. Utuhkan.." Sajadahku basah hangat, tak akan mengering hingga tiba mukjizat. |
Senin, 27 Agustus 2012
#24 Pilu Malam di Penghujung Sabtu
Label:
#30Hari90Cerita
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)