Selasa, 07 Desember 2010

Mbak Yasmin

“Mbak Yasmin..!”

Dia menoleh begitu aku memanggilnya. Rambut palsunya tersibak indah. Dia tampak begitu cantik dengan segala sesuatu yang dikenakannya hari ini. Baju terusan merah yang panjangnya hanya sebatas paha, dibalut kardigan hitam berbahan beludru, membuat penampilannya seperti wanita anggun pengunjung opera sabun terkenal.

“Apa, Mel?” dia tersenyum padaku.

“Nih, bikinan Amel. Jangan beli makan sembarangan di luar, Mbak. Kalau nggak cocok, bisa bikin sakit. Nanti kalau sakit, Mbak nggak bisa kerja lagi, deh,” ujarku sambil menyerahkan rantang kecil berisi nasi putih dengan sayur seadanya, hasil percobaanku di dapur. Tapi rasanya tidak terlalu buruk juga untuk seorang pemula seperti aku. Makanya aku berani memberikannya kepada Mbak Yasmin. Yaah, sekalian untuk promosi kecil-kecilan. Siapa tahu dia suka, dan dengan senang hati mempersilakan aku membawakannya masakan buatanku sendiri setiap hari. Menyenangkan, kan ?

“Makasih, ya, Mel. Mbak nggak tahu apa jadinya kalau Amel nggak sebaik ini sama Mbak,” jawabnya sambil meraih rantang dari tanganku seraya membelai lembut rambutku. Aduuh.. rasanya langsung meleleh hatiku ketika tangan mulusnya mendarat di kepalaku. Aroma parfumnya makin terasa harum semerbak setiap inci dia mendekatiku. Entah parfum merk apa, atau seharga berapa. Mbak Yasmin selalu memakai parfum yang berbeda tiap harinya. Mungkin dia punya tujuh botol parfum yang dipakainya bergantian dari Senin hingga Minggu. Entahlah, yang jelas aku selalu suka pilihan baunya. Selera yang bagus !

“Sama-sama, Mbak,” aku tersipu malu. “Mbak tahu, kan perasaan Amel ke Mbak Yasmin nggak pernah berubah,” jawabu tersipu malu. Mungkin wajahku sudah semerah kepiting rebus yang siap dihidangkan di atas meja makan.

Mbak Yasmin tersenyum sekali lagi. “Makasih, ya. Mbak juga tahu itu kok, Mel. Tapi kamu juga harus inget kata ibu kamu.”

Aku setengah mengangguk, sedikit kecewa dengan jawaban Mbak Yasmin barusan. Jawaban yang secara tak langsung menolak perasaanku mentah-mentah. Lalu Mbak Yasmin melenggang pergi dengan rantang di tangan kirinya, berjalan menghajar gelapnya malam. Melangkah pasti tanpa menoleh ke belakang lagi, setidaknya untuk menghiraukan aku saja yang merasa patah hati ini.

Aku menyayangi Mbak Yasmin melebihi siapapun. Dia adalah orang penting kedua di hatiku setelah kedua orangtuaku.

Dia adalah orang paling baik yang pernah kukenal seumur hidup—paling tidak sebanyak usiaku saat ini. Aku tidak bisa hidup tanpa Mbak Yasmin. Sungguh, aku tidak berlebihan kalau kukatakan bahwa aku jatuh cinta dengan si Cantik itu. Kebaikannya membuatku mulai merasakan perasaan itu kira-kira sejak setahun yang lalu.

Ya, aku hanya gadis yang baru beranjak 16 tahun dan baru tahu rasanya jatuh cinta. Berkali-kali aku berbunga-bunga setiap senyum manis Mbak Yasmin dilemparkan untukku, atau ketika dengan gemas Mbak Yasmin mencubit pipiku. Dan berkali-kali pula ibu mematahkan rasa cinta ini dengan mengatakan, “Kamu itu perempuan normal, Mel. Buang jauh-jauh Yasmin sinting itu dari kehidupan kamu !”

Haha, aku cuma bisa melengos pergi setiap ibu mulai menunjukkan tanda-tanda kebenciannya kepada Mbak Yasmin. Dia bilang, Mbak Yasmin itu sinting ? Hmm.. pasti aku menjadi orang pertama yang tidak terima dengan perkataan seperti itu mengenai Mbak Yasmin. Sekalipun itu ibuku sendiri. Ibu pikir senormal apa dirinya sendiri ? Selalu gagal dalam rumah tangganya ! Tiga kali menikah, dan ketiga suaminya meninggalkan dia. Kalau kesalahan tidak ada pada ibu, mana mungkin ketiga suaminya meninggalkan dia tanpa sebab. Apalagi aku mengenal ketiganya adalah pria yang cukup baik walaupun hanya beberapa tahun saja mereka bertahan di rumah. Aku saja tidak tahu bapakku yang mana. Ibu selalu menyuruhku menganggap ketiga orang yang fotonya terpajang rapi di dinding kamarnya itu sebagai bapakku. Ck, harusnya ibu pergi ke psikiater saja dulu dan memastikan kejiwaannya masih dalam keadaan bagus, sebelum dia mencela Mbak Yasmin seperti itu !

Kuputar maju dua roda besar-tipis di kedua sisi tanganku agar kursi rodaku bergerak ke arah rumah. Hmm, senyumku mengembang lebar. Setidaknya, aku bisa memberikan sesuatu kepada Mbak Yasmin. Aku berusaha menenangkan diriku sendiri. Untuk membuat Mbak Yasmin jatuh cinta denganku, hanya masalah waktu saja. Segala sesuatu akan menjadi lebih mudah kalau kita mengawalinya dengan niat yang tulus dan rentetan kebaikan. Bahkan tiap detik aku berusaha, aku sudah bisa mencium aroma keberhasilan di penghujung kisah cintaku ini. Aku yakin seratus persen !

Sesampainya di rumah, kujumpai ibu di ruang tamu, duduk di atas kursi kayu anyaman kesukaannya yang sudah semakin bobrok sambil menghisap puntung rokoknya yang terlihat masih baru dan utuh.

“Dari mana kamu ?” Tanya ibu ketus.

“Dari luar, Bu,” jawabku sekenanya. Aku tidak mau ibu tahu kalau aku baru menemui Mbak Yasmin. Bias dicincang habis aku kalau sampai ibu tahu.

“Keluar ? Ke mana ? Ke rumah Yasmin ?”

Aku menggeleng sambil berusaha pergi. Tapi sedetik kemudian, ibu menarik kursi rodaku dengan kasar. Dia selalu tangkas dalam urusan kekerasan. Sekedip saja aku sudah seperti kutu kecil di genggaman raksasa. Sulit melepaskan diri.

“Bohong terus ! Kamu pikir Ibu nggak tahu tiap malam kamu mengendap-endap di dapur, nyolong makanan di rumahmu sendiri, cuma buat pelacur itu ?!” teriak monster perokok itu, tepat di depan mukaku. Bau rokok yang menyengat dari mulut kasarnya itu membuatku semakin membencinya. Berada di depannya saja sudah membuatku merasa berada di antara para lelaki brengsek yang hobinya cuma menghisap lusinan puntung rokok di warung pinggiran jalan.

PLAKK !

Satu tamparan melayang ke pipi kiriku. Kira-kira, ini adalah tamparan ke-78 yang didaratkan Ibu ke pipiku selama setahun belakangan. Dan kalau aku rajin menghitung, kira-kira sudah sejak tamparan ke-29 aku sudah mulai terbiasa dengan peringatan semacam ini. Sudah kebal !

Ibu menghisap puntung rokoknya sekali lagi, lalu menyembulkan asap kelabunya di depan mukaku. “Ibu bilang, jauhi Yasmin !”

***

Malam berganti. Malam terus berjalan seperti malam itu dan malam-malam sebelumnya. Dan yang aku tahu, ibu tidak akan pernah bisa membunuh rasa cintaku untuk Mbak Yasmin.

Di tubuhku, mengalir darahnya.

Dia yang menyelamatkan aku dari kecelakaan maut setahun lalu. Kecelakaan yang hampir menelan nyawaku dan tujuh orang lainnya dalam bus malam waktu itu. Kecelakaan di salah satu persimpangan jalan utama di ibukota, tempat Mbak Yasmin sedang beraksi mencari nafkah.

Dialah yang membuatku masih bertahan hidup hingga saat ini dengan beberapa liter darahnya yang mengaliri tubuhku.

Bahkan saat aku harus kehilangan kaki kiriku untuk diamputasi gara-gara kecelakaan itu, dialah yang terus menyemangatiku untuk bersabar dan berjuang keras melalui hidupku yang aku anggap sudah sangat kacau ini, untuk mencoba berlari tanpa kaki, dan terus menjalani kehidupan normal di atas kursi roda. Justru bukan ibuku, yang seharusnya menangis memohon-mohon pada dokter untuk kesembuhanku, yang seharusnya selalu ada untukku—anak semata wayangnya—di situasi sesulit itu.

Ya, itulah mengapa Mbak Yasmin sangat istimewa untukku. Dan aku rasa aku tidak terlalu gila untuk itu. Aku masih Amel yang normal, yang mencintai orang lain yang memang sudah seharusnya aku cintai. Bukan mencintai seseorang karena sekedar ketampanannya atau apalah yang bisa mengikat pandangan kita. Itu hanya sebatas tertarik. Sedangkan jatuh cinta tidak sesederhana itu.

***

Ada kalanya aku merasa sangat kesepian di hari secerah dan seceria ini. Bahkan mungkin rasa seperti ini aku rasakan tiap hari, terutama kalau aku belum bertemu dengan Mbak Yasmin. Kuhabiskan waktu berjam-jam dari Subuh di teras rumahku yang sejuk ini untuk menantikan kepulangannya karena dari sini aku sudah bisa melihat utuh kontrakan Mbak Yasmin dengan sangat jelas di seberang sana. Sebenarnya di pagi-pagi seperti ini aku sangat ingin mengajak Mbak Yasmin pergi ke suatu tempat yang jauh dari pemukiman ini. Kalau bisa, sih yang jauh dari pantauan Ibu. Ke mana saja, makin jauh, makin baik. Tapi aku harus sabar, bukan di jam-jam sepagi ini Mbak Yasmin pulang. Yaah, minimal aku bisa melihatnya mulai jam delapan pagi. Atau paling lambat, dia akan pulang besoknya lagi.

Tak apalah, aku rela. Yang penting, kan masih banyak hari untuk bisa bertemu Mbak Yasmin. Apalagi kabar tentang kepindahannya ke luar kota ditampiknya keras. Kontrakan rumah untuk setahun ke depan saja baru dilunasinya. Kenapa harus buang-buang uang hanya untuk meninggalkannya pergi ?

“Pagi, Mel,” seuntai suara yang ramah menyapaku dari luar pagar.

“Pagi, Tante,” balasku kepada Bu Hendri—tetangga sebelah rumahku—sambil sedikit menganggukkan kepala. Kulihat dia membawa beberapa kantong plastik besar. Mencuat dari dalamnya beberapa jenis sayuran.

“Nunggu ibumu pulang dari pasar, ya ?” tanya wanita tambun itu.

Aku tertawa dalam hati. Mana pernah ibu pergi ke pasar ? Boro-boro beli ini-itu untuk dimasak, dapur di rumah kami saja perabotannya habis dijual Ibu untuk membayar hutang-hutangnya kepada pemilik warung-warung kecil yang makin hari makin membengkak. “Oh, nggak. Saya lagi nunggu Mbak Yasmin, Tante.”

Aku tidak tahu sebelah mana yang salah dari ucapanku barusan. Bu Hendri langsung merubah mimik mukanya, terlihat seperti jijik dengan perkataanku. Dia segera melangkahkan kakinya memasuki rumah. Hmm, Bu Hendri mungkin mulai menjadi generasi pembenci Mbak Yasmin setelah ibuku. Heran melihat mereka !

***

Ini sudah larut malam. Dua hari ini ibuku menjadi sosok wanita lemah lembut yang hanya menghabiskan waktu-waktunya di depan televisi, bermalas-malasan di kursi tuanya. Hampir tidak kudengar lagi suara melengking ibu yang mencaci-maki Mbak Yasmin lewat kaca mata hatinya yang rabun itu.

Dan dua hari ini pula aku belum lagi melihat sosok Mbak Yasmin. Apa dia keracunan makanan pemberianku ? Atau dia sedang ada urusan yang secara total menyita waktunya ? Atau jangan-jangan dia mulai penat dengan semua ungkapan rasa sayang dan perhatianku yang makin menjadi-jadi ? Oh Tuhan, tolong beri aku keajaiban agar aku bisa sedikit saja melihat kenyataan yang sama indahnya dengan khayalanku selama ini !

Sejurus kemudian, aku mendengar suara sebuah mobil bergerak menuju kontrakan kecil Mbak Yasmin. Setelah kupastikan pengendaranya mematikan mesinnya dan memberhentikan mobilnya tepat di depan pagar kontrakan, aku melihat Mbak Yasmin turun dari sedan hitam metalik mulus yang nyaris tanpa cacat itu dengan gelak tawanya yang renyah—yang selalu aku suka—dan sepuntung rokok di ujung tangan kanannya. Kemudian, seorang pria berkemeja putih berbadan kekar menyusulnya turun dan serta merta memeluk mesra tubuh Mbak Yasmin yang masih bersandar di dekat pintu mobil. Kuakui pria itu sangat tampan dan terlihat berkelas dengan penampilannya yang rapi dan mobil mewahnya itu, sangat serasi dengan Mbak Yasmin yang selalu terlihat anggun.

Rongga dadaku terasa sakit, bahkan terasa hancur ketika melihat semuanya. Seperti dunia berhenti berputar, menghentikan syaraf nadiku, melepas paksa nyawa dari ragaku.

Mbak Yasmin terlihat bahagia dengan seseorang di sana sementara berjam-jam lamanya seseorang menunggunya di sini. Seseorang yang tampak bodoh menanti kehadiran sesosok Mbak Yasmin.

Aku tidak tahu harus berpikir seperti apa lagi. Aku belum bisa menemukan sisi positif dari apa yang aku lihat. Bahkan untuk menghibur diriku sendiri saja rasanya aku sudah tidak mampu. Air mata jatuh seketika, melihat mesranya mereka berdua melenggang masuk ke rumah Mbak Yasmin dengan pelukan pinggang antara keduanya yang belum juga mau lepas. Entah apa yang mereka lakukan di dalam sana. Aku rasa, aku tidak harus mengejarnya dan memata-matai mereka berdua dari balik jendela rumah itu.

Rasa sakit, patah, dan hancur hatiku menahanku untuk tetap berdiri di sini. Seperti istana pasir yang tinggal menunggu seseorang untuk menginjaknya hingga istana itu jatuh dan hancur menjadi butiran pasir kelabu yang tak berbentuk lagi.

Segala hal yang aku saksikan barusan sebenarnya bukan yang pertama kali. Sudah empat, atau bahkan enam kali aku melihat yang serupa. Tapi tak pernah aku melihat si Cantik sebahagia itu sebelumnya. Aku tak tahu, rasanya kali ini aku benar-benar menyerah dengan semua usaha konyolku mengejar Mbak Yasmin.

Detik ini, terasa ada kekuatan hebat yang menyadarkanku bahwa seolah-olah apa yang aku saksikan barusan bersahabat dengan semua argumen-argumen ibuku. Argumen yang aku anggap hanya omong kosong yang tak perlu aku ambil hati. Belum pernah aku merasa sesalah ini, setelah sebelumnya aku selalu memegang kuat pendirianku untuk menentang ibu. Seketika, aku mengingat perkataan ibu…

“Waria pelacur seperti Yasmin itu nggak pantas buat kamu !”

Sesak rasanya ketika kali ini mau tidak mau aku harus mengiyakan semua hal yang dilontarkan ibu. Mungkin sudah sangat terlambat aku memahami dan meresapi ucapan serius tentang ketidakinginan ibu melihatku dekat dengan Mbak Yasmin, atau malah menaruh perasaan yang sedalam itu untuknya.

Ya, sekalipun perjuangan Mbak Yasmin membuatku berpikir bahwa waria seperti Mbak Yasmin tetaplah Mas Alan—lelaki tulen di mataku—aku harus bangun dan realistis menghadapi ini semua!

Aku normal, dan Mas Alan alias Mbak Yasmin menyukai sesamanya.

Ya, dunia kita berbeda. Mencintainya saja bukan hal yang pantas untuk aku lakukan.

2 komentar:

andri K wahab mengatakan...

bagus bgt tulisannya pus, ternyata kamu berbakat sekali yh ?

tadinya saya pikir si amel itu les**, ternyata bukan...sempet ngebayangin jg sih kecantikan si yasmin...eh nggak taunya makhluk amphibi toh...^_^

Putripus mengatakan...

wkwkwk tapi itu bukan curhat lho maas, asli fiktif :b
makasih anyway :)

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com