“Aku pengen ke sana,” tunjuk Naya pada sebuah benda bulat sempurna yang tergantung cantik di atas langit gelap, segelap perpaduan biru tua dengan merah darah dalam goresan cat di atas kanvas pelukis. Benda itu bersinar, tak cukup terang untuk membuat langit tampak secerah siang. Namun, justru cahaya redupnyalah yang membuatnya tampak begitu anggun dan menenangkan.
Jo mendengus, sebal karena gadis di sebelahnya selalu sibuk menghabiskan waktunya untuk berkhayal. “Nggak bisa, dong. Liat, tuh ! Cuma sekecil ini,” ujarnya, mempertemukan ujung ibu jari dan telunjuknya sehingga membentuk bulatan kecil, memposisikan bulan di tengah lingkaran jarinya. Lalu dengan cepat menepukkan kedua tangannya, membuat bulan seolah-olah lenyap. “Mungkin tangan kita pun nggak muat di sana.”
Naya bangun dan menegakkan badannya. Tak peduli seberapa banyak pasir pantai yang mengotori punggung dan rambutnya yang terikat berantakan. “Nggak Jo, bulan itu luas banget. Aku pernah liat di TV. Nggak sekecil ini, kok,” sanggahnya sambil menirukan gaya Jo membentuk bulatan kecil dengan kedua jari mungilnya.
“Mau ngapain kamu ke bulan ?” Tanya Jo.
“Mau makan keju,” sahut Naya bersemangat. Senyumnya mengembang, memperlihatkan sederet gigi yang tak lengkap karena minggu lalu dua butir giginya harus dicabut. “Kalo di Tom and Jerry, Jo, bulan itu kuniiiiiing banget. Terus waktu mereka mendarat di sana, eh ternyata bulannya bolong-bolong, terus rasanya kayak keju,” sambungnya.
Jo menatap kawan kecil di sebelahnya itu. Gadis yang wajahnya cokelat kusam terbakar panas matahari. Mereka berdua melewati sepanjang hari ini untuk bermain di pantai. Dari pagi yang ramai wisatawan, hingga malam yang hanya ramai riuh suara deburan ombak. Tak pernah mereka merasa bosan.
“Nay, sini !” ujar Jo, menepuk-nepuk tempat di sebelahnya, mengisyaratkan Naya untuk kembali merebahkan tubuhnya di atas hamparan pasir pantai. Sesaat setelah Nay kembali menghempaskan tubuhnya di sana, Jo menggenggam tangan kanan Naya erat-erat. “Kamu merem dulu, kita sekarang berangkat ke bulan ! Pilot Jo akan segera menerbangkan pesawatnya,” candanya. Naya tergelak dan segera memejamkan matanya. “Kita hitung sampai tiga, ya ? kalo udah, kamu boleh buka mata, berarti kita udah sampai di bulan.”
“Oke, pilot !”
“Satu…” suara mereka sahut-menyahut bebarengan, memenuhi seantero pantai. “Dua… Tiga !”
Jo dan Naya tertawa lepas dan sangat keras, dalam hitungan ketiga mereka membuka mata dan sudah bisa menemukan pemandangan bulan dalam pikiran mereka masing-masing. Naya, dengan bulannya yang berlubang-lubang, dipenuhi kawah dengan pabrik keju di sana-sini. Dan Jo, dengan bulannya yang lentur dan bisa melempar tubuhnya tinggi-tinggi seperti trampolin.
2 komentar:
bagus ceritanya...^_^
asiiiikk :b
makasih maaas :)
Posting Komentar
Silakan meninggalkan jejak :)