Selasa, 28 Desember 2010

Kebebasan Rona

Jujur, aku masih belum paham apa arti kebebasan. Rona pernah bilang bahwa kebebasan itu harga mutlak yang berhak dimiliki siapapun tanpa batasan waktu tertentu. Wktu itu aku mengangguk, aku pikir aku mengerti. Ternyata aku hanya mendengarnya, belum memahaminya.

Aku berusaha mati-matian menghubungi Rona setelah hari wisuda kami empat tahun yang lalu. Aku masih ingat betul, waktu itu dia seperti seorang Cinderella yang keluar dari aula dengan tergesa-gesa begitu melihat jam dinding besar di salah satu sisi aula menunjukkan pukul 10.30. Dia sama sekali tak menghiraukan namanya dipanggil saat mendapatkan giliran maju menerima tanda kelulusan.

Sejauh yang aku tahu, Rona tidak pernah membawa telepon genggam ke manapu. Bahkan saya masih ragu apakah dia memilikinya atau tidak. Hanya identitas standarnya yang tertera di album kenangan. Ya, hanya nama, alamat, dan kata mutiara. Bahkan Rona tidak mencantumkan nomor telepon yang bisa dihubungi. Dan satu lagi yang membuatku kesulitan mencari tahu tentang keberadaannya : tidak ada seorangpun yang dikenal dekat dengan Rona semasa SMA.

Hmm kalau boleh sedikit mundur ke masa lalu, awalnya tidak ada ketertarikan sama sekali dengan Rona. Jujur, satu-satunya alasan yang membuat saya terus mengamati Rona diam-diam di kelas adalah karena kepandaiannya berbicara. Apalagi saat sesi diskusi, debat, dan sebagainya. Dia selalu mengeluarkan pendapatan yang sedikit berbeda dari yang lain. Lugas, jujur, dan tidak banyak kemunafikan demi mendapatkan nilai yang oke dari guru. Ketika dia berpendapat tentang suatu hal, pasti ada satu titik berat yang mengesankan. Pendapatnya yang mematikan lawan, ibarat sebuah lau penutup konser musik yang hebat, membuat semua orang berdecak kagum.

Sangat hebat !

***

Aku terduduk lesu di sebuah sofa hitam panjang di bagian sudut coffe shop, bagian paling strategis karena dari sini terlihat jelas seluruh aktivitas pengunjung seantero kafe.

Moudi meneguk kopinya, lalu memebenarkan letak kaca matanya yang perlahan mulai melorot. “Aldi, sekali lagi gue minta maaf baru bisa ngasih tau lo sekarang. Lo sendiri tau, gue baru kelar dari masalah gue. Maaf ya, Di. Bener-bener nggak ada maksud kok buat nunda info ini,” ucapnya pelan, sehati-hati mungkin sambil mengelus pundakku.

Aku Cuma mangangguk pelan. Buatku, apa yang disampaikan teman lamaku ini cukup membekukan. Terlalu berat untuk sekedar menjawab, “Oke” karena kenyataannya pun terdengar sangat naif.

Sudah hampir lima tahun belakangan, Rona menjadi seorang pecandu narkoba. Memang, ayahnya adalah seorang pengusaha ternama di Jakarta. Sudah bisa dipastikan, uang saku Rona sangat mencukupi untuk membeli barang-barang nista itu. Di awal kelas dua belas, Rona pernah tertangkap guru yang waktu itu menemukan sebotol obat tanpa merk yang terjatuh dari dalam tasnya. Tapi dia berhasil lolos setelah mengaku bahwa itu adalah obat yang rutin diminumnya untuk menghilangkan rasa kantuknya di kelas.

Bukan tanpa alasan Rona menjadi pecandu narkoba. Dia terlahir dari keluarga yang hancur berantakan. Tak ada keharmonisan dari kedua belah pihak orang tuanya. Rona sendiri awalnya mencoba bersabar dan menganggap bahwa segala sesuatu yang dialaminya hanyalah mimpi. Tapi, setiap dia bangun dari tidurnya, makin hari kenyataan makin membunuh pikirannya.

Ya, aku ingat dulu pernah memergoki Rona membolos upacara dan lari ke halaman belakang sekolah yang berbatasan langsung dengan sebuah tanah kosong milik orang. Di sanalah aku memergoki Rona merokok. Dia menghirup tiap kepulan asap rokok yang dikeluarkan dari mulutnya dengan raut wajah penuh kepuasan, tanpa mempedulikan aku yang jelas-jelas ada di sampingnya.

“Kalau kamu orag yang menghargai kebebasan, kamu nggak akan pernah punya niatan untuk ngelaporin aku, Di,” ujarnya waktu itu.

“Kebebasan ?! Rona, kamu perempuan, dan kamu ngerokok di tempat dan waktu yang nggak tepat !”

Rona diam sebentar, menatapku sinis, lalu membuang sisa puntung rokoknya. “Kalau begitu, kamu masih terllau muda untuk tahu apa itu kebebasan.”

Rona lalu pergi. Dan sejak saat itu serasa ada tembok besar yang menghalangi komunikasiku dengannya. Yang aku tahu waktu itu adalah Rona bersalah, dan akulah yang benar karena sudah berusaha menghentikannya.

Tapi segala sesuatu yang diceritakan Moudi barusan tentang alasan Rona mengambil tindakan nakal seperti itu, meluluhlantakan pendapat saya.

“Gue Cuma bisa ngasih ini, Di,” Moudi mengeluarkan secarik kertas kecil dari dalam dompetnya.

Aku menunduk, meraihnya lesu. Masih merasa bersalah telah segampang itu menghakimi Rona.

***

Rona. Rona. Rona.

Tidak bisa aku berhenti memikirkan gadis itu. Bagaimana keadaannya, apa dia masih mengingatku, apa dia masih seperti dulu, aku tidak tahu.

Rasanya sudah bertahun-tahun bahkan berabad-abad aku tidak lagi melihatnya. Sedangkan dulu, dua tahun berturut-turut saya duduk di kelas yang sama dengannya. Memang, sejak perceraian orangtuanya, Rona mulai menarik diri pelan-pelan dari lingkungan sekitarnya. Dia tidak pernah menceritakan masalahnya, bahkan perasaannya secara gamblang di depan kami, teman-temannya. Dia selalu berusaha terlihat baik-baik saja.

Waktu itu kenaikan kelas dua belas. Semua wali murid diundang untuk datang ke sekolah menghadiri seminar menjelang persiapan UNAS di akhir tahun pelajaran nanti. Aku ingat melihat Rona berjalan sendirian, miris melihatnya. Seburuk itukah efek perceraian kedua orang tua Rona ?

“Ayah kamu mana, Rona ?” aku memberanikan diri untuk bertanya, karena aku tahu setelah kejadian itu Rona lebih memilih untuk tinggal bersama ayahnya.

Rona menggeleng kecil, “Aku nggak rela kalau ayah harus datang ke sini. Sementara dia sendiri lupa aku sekarang kelas berapa.”

Matanya sendu, mimik wajahnya berubah jadi makin murung. Dia seperti ingin memperlihatkan kekuatannya berdiri di atas kakinya sendiri tanpa bantuan orang lain. Tapi di waktu yang sama, seperti ada bagian dari dirinya yang mulai patah, sangat menyakitkan. Dan aku, yang hanya manusia bodoh tanpa punya bakat berbicara, Cuma bisa diam.

Aku mengamati lagi kertas dari Moudi. Ya, sekarang waktunya.

Perempuan berpakaian serbaputih itu mengantarkanku ke sebuah ruangan keci. Ruangan yang lantainya bertuliskan ‘SUCI’, masih terlihat begitu jelas walaupun mulai pudar terinjak orang.

Sial ! batinku.

Hampir sejam aku menunggu perempuan itu mencari berkas pasien yang bernama Rona. Hampir sejam aku duduk, berdiri linglung di area taman, melihat orang-orang kusut dengan seragam yang sama seperti dalam tahanan. Hampir sejam dan aku mulai merasa menjadi ‘bagian’ dari mereka. Dan ujung kebosanan itu adalah keputusan perempuan itu membawaku ke sini, ke sebuah musholla yang berada di dalam kawasan panti rehabilitasi Guna Bangsa ini.

Aku tidak yakin bisa masuk ke ruangan ini. Entah kenapa, aku terlalu takut berhadapan dengan Tuhan, mungkin. Atau karena aku terllau bingung apa yang harus aku lakukan di tempat seperti ini.

“Sus, saya nyari Rona. Ro-na,” ujarku sekali lagi. Tidak menutup kemungkinan, kan suster ini mengalami gangguan telinga ?

“Tunggu di sini saja ya, Mas. Itu Rona,” tunjuknya ke arah seorang gadis bermukenah putih dengan bordiran bunga-bunga hijau di tei mukenahnya. “Jam segini, Rona lebih suka menghabiskan waktu di sini daripada di tempat lain.”

Aku terdiam.

Itu Rona ! Rona !

Gadis yang hidupnya kacau, pembolos, pecandu narkoba, penikmat rokok… demi apapun, aku ingin kembali pulang, menelepon Moudi dan memintanya memberikan keterangan asli tentang keberadaan Rona. Bukan seperti ini ! Mungkin itu Rona yang lain.

Gadis itu mengucapkan salam terakhirnya, lalu mengangkat kedua tangannya. Bibirnya komat-kamit mengucapkan doa-doa, puja-puji terhadapa Tuhannya. Sejurus kemudian, untuk terakhir kalinya dia bersimpuh. Bersujud, membenamkan wajahnya ke dalamsajadah hijau bergambar masjid. Lalu dia mengangkat tubuhnya lagi.

Terlalu banyak hal yang membuat saya ingin segera pulang dan mendapati bahwa ini semua pasti Cuma mimpi. Tapi lebih banyak lagi sesuatu yang mengangkat kaki saya untuk berani maju, menghampirinya. Makin banyak langkah yang aku tempuh, makin terasa mencekat di kerongkonganku.

Entah karena instinct, atau gara-gara aroma minyak wangiku yang terlalu menyengat, dia mneoleh. Ya, ke arahku. Dan tersenyum. Senyum itu… Ya Tuhan, itu Rona ! itu benar Rona !

“Rona ?” sapaku setegar mungkin. Sepenuh hati rasanya aku ingin pingsan.

“Aldi, ya ?”

***

Rambut Rona terjuntai lurus panjang sepinggang. Wajahnya makin putih, makin segar dibandingkan masa SMA dulu yang agak acak-acakan. Sungguh di luar dugaan. Semalam suntuk aku mempersiapkan diri jika ternyata aku harus melihat Rona yang kurus-kering dengan luka bekas suntikan di sekujur tubuhnya. Bahkan jika Rona mendekati ajalnya ! Haha.. aku merasa konyol harus terpasung dalam pikiran negatifku terhadap orang lain yang memang tidak pernah bisa berubah.

Kami menghabiskan waktu berjalan-jalan di taman panti rehabilitasi. Rimbunnya dedaunan pohon dan semilir angin segar ikut mendramatisir suasana ini. Kami berdua benar-benar seperti artis di drama Korea yang merajut romantisme di tempat seperti ini. Memang masih canggung satu sama lain. Tapi detik yang berjalan mulai membuat suasana makin mencair. Untung aku mempersiapkan segudang cerita lucu yang berhasil membuatnya tertawa. Benar, kusiapkan hanya untuk Rona. Aku berhasil membuatnya tertawa lepas, sangat cantik.

“Jadi, kapan kamu pulang ?” tanyaku setelah hampir tiga jam kami hanyut ke banyak obrolan, dari yang ecek-ecek sampai ke pembicaraan yang berat.

Di luar dugaan, Rona menggelang. Bukan gelengan kepala yang meragukan. Justru sebuah tanda pasti untuk menidakkan pertanyaanku, “Aku nggak mau pulang, Di.”

“Lho, kenapa, Ron ?” aku berusaha sehalus mungkin menanyakan alasannya. Jelas suaraku terdengar seperti anak kecil yang serta-merta menahan kepergian ibunya.

“Aku terlanjur suka tempat ini. Banyak hal yang aku pelajari di sini, Di. Orang-orangnya, interaksinya. Dua puluh tahun aku hidup di luar, nggak sebanding sama dua tahun tinggal di sini. Aku berat kalau harus ninggalin tempat ini,” jawabnya. Dia masih Rona yang dulu, yang pendapatnya selalu memukau.

Serasa ada angin putting beliung yang memorakporandakan hatiku. Bagaimana mungkin aku membiarkan Rona hidup di sini sementara dia bisa dikatakan jauh lebih baik dan sehat. Tempat ini bukan tempat yang layak untuknya.

“Kalau kamu memang orang yang menghargai kebebasan, harusnya kamu bangkit, Rona. Kamu buktikan kalau kamu punya kemampuan yang lebih ! Ini bukan tempat kamu, Ron. Kamu masih punya cita-cita, kan ?!”

Aku tidak tahan lagi untuk tidak melepas uneg-uneg ini. Rona sering berkoar tentang kebebasan. Kebebasan yang mutlak menjadi hak tiap orang tanpa batasan waktu tertentu. Tapi sekarang, dia dibatasi oleh tempat, waktu, dan menjadikan kebebasannya tidak lagi dimilikinya. Aku makin tidak paham dengan jalan pikiran Rona.

“Aldi, bukan itu,” sambut Rona lirih sambil tersenyum. Dia menggenggam tanganku, sejenak aku merasa tenang. “Aku sudah terlalu kenyang dengan kehidupan di luar. Lihat aku ! di sini aku bisa makin merkonsentrasi mendekatkan diri dengan Tuhan kita. Aku merasa lebih damai, Di. Dan itu kebebasanku, yang selama ini nggak aku dapatkan dari siapapun.”

***

Sudah hampir sebulan kami dekat secara batin. Hmm, makin hari terasa makin istimewa.

Hari ini, adalah pertemuan kami yang ke dua puluh. Ini akan jadi pertemuan yang menentukanmasa depanku.

Dengan senyum lebar, aku merasa mimpiku sudah ada di genggaman. Ya, tinggal tunggu waktunya nanti, tinggal beberapa jam lagi. Aku sudah membicarakan dengan Rona tentang pertemuan pagi ini. Memintanya berpakaian serbaputih dan menggerai rambut indahnya. Dan aku, dengan celana kemeja putih dan celana kain ala bos-bos pengusaha, siap meluncur membawa kejutan di genggaman.

Panti Rehabilitasi Guna Bangsa terlihat sangat rama pagi ini, tidak bisaanya. Aku merapikan rambutku sebelum keluar dari mobil, dan emmastikan semuanya sempurna !. Demi Rona. Ya, Rona yang semakin membuatku jatuh cinta dengan segalakeistimewaannya menjadi seorang Rona.

Ini baru jam delapan pagi. Jantungku berdegup, degupan yang tidak bisaa. Orang-orang berpakaian hitam-putih keluar-masuk panti. Mereka terlihat sibuk. Tapi, bukan kesibukan yang bisaa. Ini mulai terasa tidak wajar.

Ada bendera kunig tertancap di pagar panti. Rasanya ada sesuatu yang kuat mendorongku untuk segera lari memasuki panti. Orang-orang berlalu-lalang, dan tak seorangpun dari mereka adalah Rona.

Aku sampai di aula yang letaknya di sebelah barat taman, tempat para penghuni panti bisaa melakukan acara besar. Banyak orang di sana. Mereka duduk rapi berjajar, menundukkan kepalanya tanda duka cita. Sementara itu, suara tangisan pecah, menyeruak di antara orang-orang itu. Itu suara Bu Ratih, pengelola panti. Dia menangis sejadinya di pinggir jasad yang tertutup kain di tengah aula.

Seseorang yang aku kenal mendekat. Suster Winda, suster yang mengantarku menemui Rona waktu itu. Matanya sembab.

“Mas Aldi, yang sabar, ya,” ucapnya terbata. “Tadi, waktu sholat subuh… Mbak Rona diambil Yang Kuasa waktu masih dalam keadaan sujud.”

***

Dinding-dinding kamar terasa berwarna hitam kelam. Semua sisinya hitam, termasuk hatiku. Tinggal sekotak cincin perak berhias mutiara putih yang terbuka, memancarkan isinya yang tampak begitu bercahaya.

Tadinya, itu untuk Rona.

Untuk melamar Rona.

Tapi sepertinya akan lari ke tempat sampah, karena sungguh itu hanya akan untuk Rona, bukan untuk yang lain.

Rona menepati janjinya untuk berpakaian serbaputih di pertemuan kami kali ini. Putih kafan.

Ya Tuhan, remuk. Puingan jiwaku ingin ikut terkubur bersama jasad Rona yang terbujur kaku di pusaranya. Tinggal ragaku yang terkapar, seperti orang merasakan tanda kiamat di hidupnya.

Ada sekotak kue bolu cokelat di sampingku. Berhiaskan krim putih dengan taburan gula warna-warni di atasnya. Terpasang sebuah kartu ucapan di bagian luar kotaknya : ‘kalau bukan karena Aldi, aku nggak akan bela-belain semalam suntuk nyentuh dapur cuma untuk bikin ini ^.^’

***

Aku menggelar sajadah cokelat kecil di lantai. Sajadah yang telah lama tertumpuk baju-baju bekas di lemari paling bawah. Aku bersimpuh di atasnya. Sudah cukup lama aku menangisi kepergian Rona. Sudah cukup lama pula aku meninggalkan Tuhan.

Sekarang, dan selamanya aku cuma ingin merasakan satu hal yang lama jadi pertanyaanku. Yang bertahun-tahun menggantung di kepalaku. Yang ternyata belum pernah aku rasakan kemutlakannya.

Kebebasan Rona.

4 komentar:

arawsab_erodoeht mengatakan...

kalau nggak kuliah (bolos), terus belajar nulis.. ide yang bagus, klo bagian2nya kamu deskripsikan lagi jadi sepenggal novel..

klo yang ini cara penyampaian ceritamu seakan bolong-bolong..

Putripus mengatakan...

lha itu, aku gak bisa manjangin cerita mas, kalo dipanjangin pasti ancur -_______-

haha okee, thanks kritiknya :D

andri K wahab mengatakan...

mengharukan ceritanya. km memang sangat berbakat.

btw coba bikin cerbung deh pus !...^_^

Putripus mengatakan...

haduh, ini masih random banget mas -________-

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com