Jumat, 24 Desember 2010

Meja Bundar

Diam-diam aku merindukan suasana seperti ini. Malam yang hangat di meja makan bundar di salah satu restoran di Jakarta. Ini adalah salah satu restoran terbaik yang aku tahu—setidaknya selama aku tinggal di Jakarta delapan tahun ini. Tempatnya indoor, namun dikonsep sedemikian rupa dengan lapisan serbakaca di sana-sini hingga meskipun kita berada di dalam ruangan, tetapi kita masih bisa melihat keadaan luar yang kebetulan berbatasan langsung dengan deretan toko bunga sehingga pengunjung restoran tetap merasakan suasana outdoor yang segar. Lebih nikmat lagi kalau hari hujan. Semangkuk besar sup ayam jamur spesial sengaja kami pesan untuk menggugah selera makan kami. Juga ada sepiring perkedel daging yang kaya rempah, juga kesukaan kami.

“Jangan pergi,” ujar Ratna lirih. Bias kaca di bola mata cokelatnya nyaris meleleh, tumpah ruah. Namun kekuatan hatinya menahan serpihan air itu agar tetap di sana, agar tak terjatuh membasahi wajahnya yang sudah mulai banyak keriput halus.

Ting.. ting.. ting..

Tangan Ratna terus menerus mengadukkan sendok kecil itu ke dalam secangkir kopi panas yang sudah setengah habis diteguknya. Menciptakan tornado di dalam cangkir kecilnya. Kebiasaan lama. Dia paling tidak suka suasana sehening ini. Maklum, dia adalah tipikal perempuan yang sangat ceria. Tidak bisa dia membiarkan waktu berjalan hanya dengan diam. Selalu ada saja benda yang diketuknya untuk menciptakan suara-suara lain.

Jelas ada yang berbeda dengan kami malam ini. Segala sesuatu tampak lebih asing.

Aku mencintai Ratna, sungguh rasa cintaku kepadanya belum berubah. Aku mencintai caranya tersenyum. Aku mencintai caranya menertawakan leluconku. Aku mencintai jalan pikiranna. Aku mencintai kebiasan buruknya. Aku mencintai semua bagian dari hidupnya.

Aku membiarkan jemari kiri Ratna memagut erat pergelangan tanganku. Itu yang dia inginkan, bahwa aku harus tetap di sini. Bukan, bukan hanya sekedar di sini. Tapi lebih dari itu. Dia menginginkan aku, menginginkan keberadaanku menjadi pendamping hidupnya kelak, setelah masa-masa sulit seperti ini berhasil kita tangkis jauh-jauh.

“Ratna…” balasku, tak kalah lirih. “Aku harus pergi, aku memang harus pergi”.

Setegar mungkin aku berusaha mengucapkan kalimat terjahat itu. Aku tahu, sedetik yang lalu aku telah merobek-robek ulu hatinya, perasaannya. Tapi aku lebih tahu lagi bahwa jika aku mendiamkannya terlalu lama, maka aku harus menahan sakit yang jauh lebih dalam juga melihat perasaannya membusuk bersama semua harapannya kepadaku. Lebih baik menyakitinya sekarang daripada makin lama berlarut-larut.

Lampu remang restoran seolah bersahabat dengan perasaan kami. Redup. Kami seperti sedang berdiri di ambang pintu pengharapan. Kalau keluar kami akan jatuh bersama-sama, kalau memaksa masuk pun akan ada bahaya mengancam di dalam.

“Besok sudah hari H, tolong pahami posisi kita, Rat”, ujarku.

Air mata Ratna mulai runtuh. Aku bisa merasakan sakit dan hancur perasaannya. Aku bisa merasakan seberapa berat beban dosaku menyakiti Ratna.

“Tapi… tapi aku terlanjur jatuh cinta sama kamu…”, isaknya.

Ya, bukan hanya dia. Akupun mulai jatuh cinta dengannya. Empat tahun kami menjalin hubungan dan harus kami lepas untuk satu jalan baru yang harus aku tempuh : pernikahan.

Ratna merunduk. Isakannya semakin hebat, genggamannya semakin kuat merengkuh buku-buku jariku. “Tolong jangan pergi…”

Malam semakin gelap dan menikam kami dari belakang, berlama-lama di sini makin terasa menyakitkan. Aku harus pergi. Aku harus menampik egoku untuk tetap di sini, di sisinya. Ratna bukan untukku. Di sana, di suatu tempat sedang ada wanita lain yang bersenda gurau dengan keluarganya, mempersiapkan ini-itu untuk hari besar kami besok.

Dan Ratna, hanya akan menjadi bagian kecil di hari istimewaku besok. Kehadirannya hanya akan terpampang pada sesi foto bersama, foto keluarga. Dia akan berdri merapat dengan mukanya yang sembab di samping ibuku. Atau entah besok dia akan hadir atau tidak.

Empat tahun telah aku hancurkan malam ini. Mungkin tidak akan bisa kembali seperti dulu, aku dan Ratna. Tapi satu hal yang aku tahu, aku tetap mencintai dan menyayanginya karena dia adik kandungku.

Malam semakin dahsyat melebur dengan perasaan kami. Semakin kental bercampur dengan tangisan Ratna. Kami semakin dekat dengan perpisahan, kami tahu apa yang harus kami hadapi besok.

Sialnya, kata-kata kami telah habis untuk menguatkan satu sama lain. Bibir kami kelu.

Kami belum ingin pulang…

2 komentar:

andri K wahab mengatakan...

wow...amazing, bernyawa sekali tulisan km, meskipun itu sebuah fiksi...^_^

Putripus mengatakan...

wahaha alhamdulillah, makasih mas :D

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com