Ibuku
memiliki tanah lapang yang luasnya tak terkira. Berhektar-hektar yang tak akan
mampu dibeli saudagar kaya manapun meski segala rumah, apartemen, mobil-mobil
mewah, dan segala dana investasinya dicurahkan untuk mendapatkannya.
Tanah
lapang yang begitu hijau dan asri itu tak dijualnya. Bahkan, pada anak-anaknya
pun Ibu tak mewariskannya barang secuil. Tiga anaknya ini selalu gagal dalam
usahanya mendapatkan tanah lapang milik Ibu, atau yang serupa dengan milik Ibu.
Entah karena kami terlahir dengan kutukan Dewa Langit, atau entah memang kami
tak layak mendapatkan harta beliau yang satu itu. Yang jelas, bukan karena Ibu
yang terlalu pelit pada anak sendiri.
Tanah
lapang itu, selalu dibawanya ke mana-mana. Ibu tak pernah takut tanahnya
dicuri, tapi memang itu adalah tanah ajaib yang selalu menyertai Ibu. Aku bisa
melihat bagaimana Ibu menyertakan tanah lapang itu dalam hari-hari Ibu. Aku
bisa melihat bagaimana Ibu selalu bisa mengisyaratkan bahwa tanah lapang itu
begitu penting dimilikinya, juga bagaimana Ibu menaruh harap agar kelak
anak-anaknya pula dapat memiliki harta semahal yang dimiliki Ibu.
Tanah
lapang itu, tak akan kautemukan di sejauh mata memandang. Karena Ibuku
mengemasnya di dalam dadanya. Tanah lapang tempat bermukim sejuta rela dan
ikhlas pada setiap uji coba dari Tuhan. Juga tanah lapang yang begitu luas
menyediakan sabar dan maaf menghadapi kenakalan anak-anaknya.
Ibuku
sangat kaya, bukan?