Selasa, 04 Januari 2011

Dengar Aku, Ibu




Aku membanting pintu kamarku keras sekali hingga Ibu menghentikan kegiatan menjahitnya. Aku memang selalu labil. Marah tanpa sebab, lalu sedetik kemudian aku begitu membenci diriku sendiri atas kekasaranku, menjambak-jambak rambutku, hingga memukul-mukulkan kepalaku dengan bantal kapuk yang mulai keras memadat. Aku juga tidak tahu kenapa aku seperti itu, berkali-kali Ibu menyalahkan dirinya sendiri atas kelakuan anehku itu. Padahal aku pun tahu, aku melakukannya tanpa sebab yang jelas. Tapi hari itu berbeda. Kejemuan yang menyebalkan luar biasa menyergapku.

Ibu segera menghampiriku, beliau selalu tahu kapan aku terlihat begitu asing dan bermasalah. Aku dipeluknya dengan sangat lembut sementara aku terus meronta-ronta seperti gadis kesurupan. Aku sadar, betapa lelah Ibu harus merawatku, memeliharaku yang semakin tak layak disebut sebagai manusia normal ini. Bahkan aku sangat-sangat tidak memiliki kemampuan untuk menjelaskan apa yang aku pikirkan.

Lalu Ibu mengelus dadaku, cara yang biasa dilakukannya untuk mengisyaratkanku bahwa segala sesuatu akan membaik dan aku harus tenang. Tangan Ibu seperti tangan pesulap, begitu disentuhkannya tangan keriput itu di atas dadaku, rasa hangat langsung menjalar. Tenang.

Aku langsung menangis, itu caraku untuk menarik perhatian Ibu, untuk memberitahukan Ibu bahwa aku ingin Ibu menemaniku. Lalu kutarik tangan Ibu dengan langkah terseok menuju ruang makan. Di balik tudung saji ada menu sederhana, tempe goreng dan nasi yang sudah dingin karena kami tak punya alat penghangat nasi seperti di rumah orang-orang berharta lebih. Aku memukul-mukulkan sebatang sendok besi dengan sebuah piring kosong yang juga tergeletak di atas meja. Aku pukulkan terus dan terus hingga menimbulkan suara yang semakin keras, dan kutabrakkan suaru itu dengan teriakanku. Jangan heran, aku selalu berteriak.

Ibu mengangguk dan tersenyum. Lalu diambilkannya sepiring nasi dan sebuah tempe goring. Beliau mengambil posisi duduk yang nyaman, lalu menyuapiku makan siang.

Berhentilah berkutat dengan kesibukan menjahitmu, Bu. Perhatianmu untukku makin berkurang walaupun aku tahu rasa sayangmu tidak akan pernah berkurang. Aku ingin Ibu sedikit lebih peka, karena aku anakmu yang autis…

0 komentar:

Posting Komentar

Silakan meninggalkan jejak :)

Cari di Sini

 
 
Copyright © Sepotong Keju
Blogger Theme by BloggerThemes Design by Diovo.com